ditulis oleh Rus'an Latuconsina

Sama halnya juga dengan sekawanan kerbau yang memang selalu tak pernah mau berpikir dalam-dalam dulu sebelum memborong sepetak rumput segar kedalam perut jalanya. Memang begitulah kodrat binatang, tak perlu membuat refleksi diri, sebab dia tak punya akal. Nah, demikianlah salah satu sisi keistimewaan manusia yang punya akal, karena dengan mengoptimalkan daya rasionalitas, daya refleksi dan sebagainya itu maka ia berpeluang menjalani kehidupannya dengan kebijaksanaan, tak terkecuali dengan keseimbangan jiwa spiritual.
Sekarang ini kita sedang berada di pekan-pekan penghujung bulan Sya'ban 1429 H. Itu berarti tak lama lagi bulan yang penuh berkah akan tiba. Ramadhan telah di pelupuk mata. Umat-umat akan menyambutnya dengan suka cita sambil mendemonstrasikannya melalui ucapan verbal 'marhaban yaa Ramadhan...', selamat datang bulan Ramadhan, seraya hati mengikhlaskan untuk bersiap-siap masuk ke dalam aura sucinya. Pertanyaannya adalah apakah segala gerak-gerik dan aktivitas serta kesibukan yang kita lakukan menyambut Ramadhan adalah sebentuk refleksi ataukah hanya sekedar gerakan tanpa refleksi diri? Apakah di setiap sesuatu yang kita lakukan sekarang ini seperti pulang kampung dan sebagainya itu memiliki kekuatan refleksi, kekuatan mengendapkan momen dalam benak untuk menemukan makna dan pesan-pesan sesungguhnya di balik setiap momen yang hendak kita rayakan ini?
Apakah betul Ramadhan ini memiliki arti yang sungguh berarti bagi diri kita? Ataukah Ramadhan ini hanyalah salah satu bulan tempat ritual-ritual itu saja yang dikenal sebatas di permukaan saja, ataukan bahkan Ramadhan itu sebatas sebuah bulan yang karena telah banyak orang mempraktikkannya, ia hanya sebagai suatu etape liburan, pulang kampung, hura-hura dan lain sebagainya yang hanya sebenarnya bukan Ramadhanlah tujuan sesungguhnya mereka beraktivitas di dalamnya, akan tetapi Ramadhan itu ditempatkan sebagai momen penjastifikasi kecintaan diri sendiri yang amat berlebihan.
Hanya diri sendiri saja yang menginginkan kenikmatan duniawi seraya menggaet dan memanipulasi simbol sosial dari bulan ini. Maka tak heran kalau kita mendapati ketika dalam bulan Ramadhan, di mana-mana banyak orang yang narsis itu tetap saja melakukan perbuatan yang dilarang syariat Islam. Walau kebanyakan pula orang menggunakan simbol-simbol kesalehan, seperti peci haji atau songkok, baju gamis dan sebagainya, namun itu hanyalah sebentuk manipulasi simbol untuk tujuan pelampiasan nafsu pribadi. Karena mereka sangat mencintai diri sendiri. Nafsu-nafsu yang termanjakan di balik jubah-jubah kemunafikan.
Ramadhan kali ini, mudah-mudahan kita tak sekedar bisa menggunakan simbol-simbol kesalehan secara fisikal semata serta memanfaatkan untuk hal-hal yang mungkar, namun Ramadhan kali ini semoga bermakna kuat, menghunjam kokoh dalam kesadaran sebagai bulir-bulir sejuk embun refleksi kita. Semoga Ramadhan sebagai madrasah ruhaniyah membantu kita dalam berbuat kebaikan dan ibadah sesuai syariat kebenaran yang dibawa Rasulullah saw, membantu menanggalkan segala sifat fir'auniyah, bal'amiyah, hammaniyah dan segala kezaliman, kekafiran dan kemunafikan. Amin
0 komentar:
Posting Komentar