Selamat Datang Adik-adik Calon Mahassiswa Baru di Kota Daeng...Selamat Bergabung Bersama HIPPMAP-Makassar...

Minggu, 17 Agustus 2008

Krisis Eksistensial itu Merusak Kampung Kita

ditulis oleh Rus'an Latuconsina*


"menurutku kritik sosial adalah bagian dari iman
dan iman yang benar adalah iman yang mengikuti
Nabi Muhammad saw, karena melihat dari perspektif ini,
iman yang diajarkan beliau meniscayakan progresifitas
untuk transformasi sosial"-ruzz'an


Presiden Soekarno pernah berseloroh begini, "vivere peri coloso", artinya beranilah nyerempet-nyerempet bahaya. Sebentuk kalimat agitasi untuk mengajak rakyat Indonesia bertarung sebagai petarung sejati tanpa kenal takut untuk melawan kaum penjajah. Itu adalah bagian detak sejarah masa lalu dan menurutku masih kontekstual maknanya sampai kini ketika bangsa kita sedang digadang-gadangi oleh apa yang selalu diwanti-wanti Soekarno mengenai bahaya neo kolonialisme-imperialisme (nekolim), yakni rezim korporatokrasi yang mengglobal (neoliberalisme). Soekarno pula pernah berkata "berikan aku sepuluh pemuda maka akan kuguncang dunia". Kata-katanya yang membakar semangat perjuangan, memberikan makna betapa berartinya para pemuda bagi perjuangan. Vivere peri coloso ketika bersenyawa dengan militansi para pemuda, maka yang terjadi adalah sebuah potensi kekuatan revolusi dan atau transformasi sosial.

Lain Soekarno dan 'sepuluh pemuda' lain pula beratus pemuda di negeri Pelauw. Pemuda ideal a la Soekarno yang berkarakter kesadaran diri dan empati sosial, punya jiwa militansi dan integritas budi pekerti luhur kayaknya jauh panggang dari api ketika kita mau mencarinya di negeri yang telah mencetak ratusan sarjana muda, ratusan mahasiswa aktif serta ratusan pula kaum pelajar sekolah itu. Seperti mencari mutiara di dalam kerang-kerang biya dan patu omin. Menemukan pemuda a la Soekarno di Pelauw adalah hal langka saat ini, walau dalam kenyataannya menurut hematku bahwa masih ada banyak pemuda di Pelauw yang memiliki naluri pemuda a la Soekarno namun potensialitas itu terhimpit oleh arogansi dan hegemoni kultur pemuda non a la Soekarno. Alih-alih mau memerankan vivere veri coloso, yang terjadi adalah sebaliknya, mereka terbisukan oleh keadaan yang mendominasi pikiran, benak dan kesadaran. Orang-orang (pemuda) baik-baik kemudian menjadi merasa kikuk, minder dan inferior dengan identitas sikap kedirian mereka di hadapan orang-orang (pemuda) yang telah membangun sistem penanda budaya tersendiri yang melahirkan fasisme tanda ketika mendefenisikan keunggulan dan kebaikan pikiran, model kesadaran dan tingkah laku sosialnya.

Ketika suatu masyarakat telah didominasi oleh suatu kelompok (pemuda) dengan identitas budayanya tersendiri, dimana identitas budaya baru tersebut ketika 'dikampanyekan' secara massif berulang-ulang kali bahkan bertahun-tahun hingga muncul penerimaan, entah secara sadar atau tidak sadar oleh banyak orang (pemuda), yang kemudian budaya baru tersebut diterima sebagai sebuah sistem nilai dan praktik budaya baru, maka inilah yang disebut oleh Antonio Gramsci sebagai hegemoni.

H
egemoni adalah bentuk penerimaan atas suatu tatanan nilai (ideologi) yang ketika pada saat yang sama pihak yang menerima merasa 'nikmat' dan tak sadar dengan penerimaan dari pihak injektor nilai yang massif melakukan dominasi pikiran dan mengontrol perilakunya. Gramsci mencoba menunjukkan adanya dua kekuatan antagonis dalam masyarakat yang tidak seimbang, dimana satu pihak (masyarakat politk/negara) selalu mendominasi dan kemudian menguasai cara berpikir hingga perilaku pihak rivalnya (masyarakat sipil) melalui mekanisme kontrol dan pemaksaan secara ideologis. Masyarakat sipil akhirnya terkungkung dalam candu-candu ideologis yang ditebarkan oleh negara melalui berbagai macam cara. Mereka dipaksa secara samar untuk terus dikuasai. Lewat hegemonilah penindasan itu berlangsung. Penindasan memiliki banyak skala varian. Tapi yang umum adalah penindasan secara non fisik dan secara fisik. Kalau penindasan itu terjadi secara fisik, kita harus melawannya dengan memutus rantai pengendalian, jerat, belenggu dan kekerasan yang ditimpakan dengan kekuatan fisik pula. Namun jika penindasan itu meneror lewat hegemoni atau pemaksaan secara halus, lewat pemaksaan ideologi, pemikiran, cara-cara melihat dunia dan mendefenisikan diri di hadapan realitas, maka cara yang efektif untuk melawannya adalah memutus rantai hegemoni (counter hegemony) melalui verifikasi, refleksi dan pembasisan ideologis untuk membongkar akar-akar kepalsuan dan kemungkaran ideologi yang hendak menghegemoni.

Jika kita mengkontekstualisasikan konsep hegemoni di atas ke aras realitas sosial masyarakat Pelauw, khususnya mengenai kecenderungan hegemonik dari kelompok yang tampak mendominan terhadap kelompok yang termarjinalkan. Jadi ada dua kelompok sosial (khususnya) pemuda, yang satunya hendak menghegemoni dan lainnya nyaris tak berdaya. Kelompok yang pertama adalah tipikal pemuda yang kunamakan 'mabukov-jogetisme-kampunginsche'. Tipe ini adalah mereka yang kerjanya hanya memikirkan, merencanakan, melaksanakan dan mengukuhkan joget sebagai sebuah ritual dogmatis. Joget diritualkan secara rutin seperti ritual suatu agama tertentu. Jadi harus ada, kalau bukan sehari tiga kali, sehari dua kali atau sehari cuma satu kali. Kalau tidak sempat dan ada halangan, dua hari sekali atau tiga, empat, lima, enam atau sepekan sekali. Begitu seterusnya sebulan berapa kali dan setahun berapa ratus kali. Kalau umat Nasrani biasanya beribadah rutin hari Minggu di gereja, umat Islam shalat fardhu lima kali sehari, shalat sunat dan ibadah-ibadah lainnya, sementara kelompok pemuda ini punya ritual rutin pula. Semacam ibadah 'suci'nya. Mereka mempraktikkannya begitu 'khusyuk' sampai-sampai mengalami ekstase (mabuk 'spiritualnya') berjamaah. Di sana ada shaf-shaf yang dibuat berjejer dua baris. Kalau umat Islam shalat ada shaf yang terpisah jauh antara jamaah laki-laki dengan jamaah perempuan dibatasi oleh hijab (pembatas), maka kelompok ini punya shaf tidak dibatasi dengan hijab, namun berdekatan sekali, bertatapan, berhadapan muka. Kalau umat Islam shalat ada rukun-rukun shalat yang harus diikuti seperti ruku', sujud, duduk, kemudian ada bacaan-bacaan shalat, maka kelompok ini punya ruku-rukun ritual tersendiri. Gerak mereka adalah goyangan pinggul, pantat, dada, lengan, muka, rambut, kaki, jari lalu jiwanya tak ketinggalan berjingkrak-jingkrak ria. Wajah hadap wajah, mata tindis mata, dada menombak dada, kaki berseliweran dan hati turun tahta menjilati bumi menyerupa binatang ternak. Laki-laki dan perempuan berpasang-pasanganan tenggelam dalam kenikmatan bergoyang dalam jejeran kaum-kaum muda. Liukan, goyangan dan ajep-ajepan itu diiringi musik-musik joget dari berbagai macam keluaran musik joget yang asyik. Dunia menjadi indah dalam kenikmatan malam di bawah tenda. Mau tenda itu dari terpal biru, terpal coklat, tak peduli, bila perlu halaman masjid dan 'rumah soa' pun bisa koq. Sementara di dalam pesta orang bergoyang, di luar sana banyak pasangan muda-mudi sedang 'asyik' berpacaran menikmati indahnya nyerempet-nyerempet zina. Lalu di pojok-pojok rumah ada pula mereka yang 'beribadah forum lingkar botol', forum tenggak-menenggak sopi, topi miring dan semacamnya khamar yang kalau dalam agama Islam merupakan minuman yang haram diminum, suatu status hukum yang setara dengan keharaman makan babi. Itulah tipe kaum muda mabukov-jogetisme-kampunginsche.

K
alau kelompok tipe di atas memiliki kecenderungan yang negatif, ofensif, hegemonik dan merusak, tipe kelompok kedua yang termarjinalkan secara budaya oleh hegemoni gaya hidup di atas masih punya nalar potensial positif yang terbungkam dan tak terwadahi dan tak terkanalisasi suara-suara hati nuraninya untuk melakukan protes sosial. Sebenarnya tipe kedua ini mewakili hati nurani yang setiap manusia pasti memilikinya. Cahaya hati yang telah meredup bagi siapa saja biasanya disebabkan oleh semakin kotornya hati. Hati yang semakin kotor disebabkan oleh amal perbuatan yang bertentangan dengan hakikat hati itu sendiri. Karena hakikat hati adalah fitrah kesucian. Wadah bagi pencerapan cahaya cinta. Iluminasi cinta dari Sang Hakikat, Allah swt. Apabila wadah suci dilaburi dengan bercak noda oleh karena perbuatan dosa dan tak bertobat, maka wadah suci itu menjadi wadah penuh bercak noda dan kotoran. Noda dan kotoran meredupkan dan menghalangi cahaya yang mau dicerapi oleh wadah (hati). Kalau hati telah kotor oleh karena dosa, lalu yang terjadi hanyalah dorongan-dorongan nafsu rendah yang menguasai diri. Nafsu rendah ketika menguasai kita maka itu pertanda kita akan turun derajat seperti binatang ternak, atau bahkan lebih rendah darinya. Maka beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya. Allah swt berfirman: "Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya"(QS. As Syams : 8-10). "Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami, dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat, dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar. Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai" (QS. 7: 179).

Kenyataan bahwa ada dua tipe kelompok di atas, yang satunya hegemonik dan satunya terhegemoni. Yang satunya menghegemoni dengan meminjam istilah Baudrillard dalam wacana Cultural Studies, mereka menciptakan identitas simulakrum baru dengan membuat defenisi representasi tertentu yang sesuai dengan kehendak dan desire mereka untuk menggiring obyek massa ke suatu screen kontestasi yang sarat penekanan dan alienasi. Contohnya adalah ketika kelompok ini 'mengorganisir' dan 'mengonsolidasikan' identitas kelompoknya secara kuat bertahun-tahun dan meluas, maka muncul satu image yang telah disetujui secara apriorik bersama-sama, lalu image itu direproduksi berkali-kali hingga menjadi konvensi kultural yang semakin meluas. Akhirnya image yang telah tersimulasikan yang sarat nilai, kepentingan, kuasa dan (satu lagi) rasis itu kemudian 'dipaksakan' kepada khalayak sebagai sesuatu yang harus berlaku. Penentangan atasnya berarti melawan arus besar yang telah mengalami homogenisasi. Akhirnya stigma pahit direproduksi untuk membunuh karakter-karakter yang ingin independen dan mempertahankan pluralitas identitas. Joget, minuman keras dan dunia perzinahan ketika telah tersimulasikan oleh permainan-permainan tanda budaya yang dominan, maka akan melahirkan sebuah representasi nilai yang xenofobik dan rasis dari gua garba identitas budaya dominan. Lalu mengesahkannya menjadi alat pemaksa bagi pemuasan seluruh hasrat ideologisnya. Kalangan yang ingin menentang joget, minuman keras dan dunia perzinahan akan berhadapan dengan stigma-stigma tertentu, seperti dicap 'kurang gaul' (?), 'tidak asyik' (?) dan sebagainya. Nah, nilai-nilai yang muncul lewat stigma pahit itulah 'cairan kotor' yang meluber dari sistem-sistem nilai yang telah didefenisikan sebelumnya dan menjadi kesepakatan meluas sebagai akibat dari hegemoni yang menciptakan image-image dan stigma-stigma.


Solusi untuk mengcounter pola hegemoni budaya ini adalah dengan membalikkan alur hegemoni yang terjadi, disamping dengan melakukan konfirmasi dan verifikasi setiap informasi dan kecenderungannya serta membuat pembasisan ideologis dengan muatan nilai-nilai yang mengajak kepada kebaikan manusiawi secara universal. Nilai-nilai yang ditarik dari sebuah ideologi yang menjadi pandangan dunia yang sangat superior, sesuai dengan kodrat atau fitrah kemanusiaan dan tata harmoni alam semesta. Nilai-nilai yang berasal dari aras kesucian. Nilai-nilai yang berasal dari Allah Yang Maha Suci dan Tinggi. Itulah Islam.

So, kita bisa memetakan yang mana kelompok pemuda yang disukai oleh Bung Karno dan mana yang hanya berperan sebagai buldozer pengrusak moral masyarakat. Mana kelompok pemuda yang punya karakter sebagai manusia dan mana yang menggadaikan nilai manusianya menjadi binatang ternak. Mana kelompok yang bermanfaat bagi lingkungannya dan mana yang hanya bisa mencebur noda dan menyemproti wajah masyarakatnya dengan kehinaan. Mana yang mau bertanggungjawab terhadap lingkungannya dan mana yang tak mau tahu. Sekarang kita harus menegaskan dengan tanpa rasa minder bahwa menjadi pemuda yang baik, pemuda yang mau bertanggung jawab adalah pemuda yang dirindukan oleh jaman dan layak disebut pemuda yang cinta kampungnya. Orang yang kerjanya merusak dan mengumbar angkara sebenarnya dialah setan yang tidak layak ditiru, diikutim diteladani lalu didengar kata-katanya, karena dialah perusak. Karena sang perusak selalu anti dengan cinta. Orang yang merusak tak layak dibiarkan bebas. Karena kebebasannya adalah peluang untuk memperpanjang drama pengrusakan. Karena orang yang suka merusak telah tertawan kewarasannya. Akal sehatnya terinjak-injak dibawah telapak kakinya. Karena itu orang seperti itu tak layak mempengaruhi anak-anak generasi yang masih hijau dengan ketengikan serta kepicikan. Mencintai kampung berarti berbuat dengan budi pekerti yang luhur. Bukan sebaliknya. Wallahu a'lam bishowab.

*Penulis adalah aktivis HMI MPO Cabang Makassar
dan anggota Dewan Pembina dan Penasihat HIPPMAP 2008-2009

0 komentar:

 
© Copyright by HIPPMAP Online  |  Template by Blogspot tutorial