Selamat Datang Adik-adik Calon Mahassiswa Baru di Kota Daeng...Selamat Bergabung Bersama HIPPMAP-Makassar...

Selasa, 09 Desember 2008

Idul Adha di Tengah Hujan

ditulis oleh Rus'an Latuconsina

Lantunan takbir, tahmid dan tahlil berulang-ulang memecah keheningan subuh. Suara itu menggetarkan jiwa. Dengan dibantu alat pengeras suara, jamaah shalat subuh di masjid Pusat Dakwah Muhammadiyah (Pusdam) Sulsel itu menggemakan kalimat-kalimat suci yang telah mentradisi dikala tiba shalat id. Beberapa jurus kemudian kudengar pengumuman dari


situ bahwa shalat idul adha dimulai pada pukul 06.30 wita. Usai mengirimkan beberapa sms ucapan lebaran buat kawan-kawanku, aku bergegas ke kamar mandi karena khawatir kehilangan kesempatan shalat id. Mungkin inilah shalat idku yang terakhir kali, aku tidak tahu. Apalagi usia semesterku sudah termasuk sepuh. Bisa jadi kalau Allah mengijinkan, idul adha berikutnya tidak lagi aku nikmati di bumi Tamalanrea ini. Tempat yang telah cukup lama menyimpan jejak kebodohanku sebagai manusia.

Sebenarnya aku sudah terjaga sejak sekitar jam dua dini hari. Aku susah tidur malam itu. Pikiranku sulit diajak kompromi dengan mataku. Padahal aku tidak sedang insomnia. Entah bagaimana aku hanya merasakan sesuatu yang lain saja memasuki hari ulang tahun momen ekspresi totalitas cinta Ibrahim as dan Ismail as ini. Ada sesuatu yang lain di hati. Perasaan ini sangat subyektif dan begitulah hati yang punya tabiat. Saat keterjagaanku di dini hari yang tidak terlalu dingin itu, aku memencet tuts inbox message di handphone dan mendapati beberapa sms ucapan selamat lebaran dari beberapa kawan. Segera aku memblasnya, berharap semoga sms itu bisa menjembatani ungkapan kebahagiaan merayakan idul kurban ini seraya mereguk hikmahnya yang dalam. Masih sempat setelah shalat subuh memegang benda yang kadang merepotkan ini. Sms-sms yang isinya mulai dari yang puitis sampai yang standar-standar saja, sekedar "mohon maaf lahir batin".

Jarum jam telah lewat sedikit dari pengumuman yang disampaikan tadi subuh, aku pun bergegas ke lapangan depan Pusdam. Menelusuri lorong di antara pondokan yang padat, aku mengenakan kain sarung dan kaos oblong. Manutup aurat dan tidak pocci-pocci. Karena Allah tidak memedulikan materi pakaian, yang penting pakaiannya bersih. Bersih dari najis, bersih dari korupsi. Mudah-mudahan pakaianku bukan hasil korupsi. Aku masuk ke halaman yang di sana jamaah sudah berdiri shalat. Imam sudah membaca fatihah. Aku tidak membawa sajadah. Sajadahku hanya satu dan dipegang oleh adikku. Aku berdiri di tengah dua orang yang kebetulan masih ada ruang kosong di sana. Di atas beton jalan yang melingkari lapangan rumput, kusibakkan sendal jepit hijauku ke belakang lalu setelah berdiri mantap dengan konsentrasi, aku takbiratul ikhram, lalu mengulangi takbir sampai tujuh. Imam sudah membaca surah.

Lapangan itu tidak penuh sama sekali, tapi memang kelihatan banyak dan sebagian besar mahasiswa. Jamaah wanita di lantai semen persis di bawah atap gedung Pusdam sebagian juga mengambil posisi jamaah di pelataran kios-kios yang ada di kompleks itu. Jamaah laki-laki di depan dan menyebar sampai ke samping kanan dekat pagar kompleks. Di tengah-tengah shalat itu, hujan turun. Semuanya terhenyuk dalam shalatnya walau lama-lama hujannya semakin mengguyur deras. Imam melanjutkan rakaat keduanya dengan takbir lima, lalu fatihah dan surah. Baru kali ini aku merasakan shalat id langsung di tengah lapangan dengan guyuran air hujan. Ada sensasi tersendiri dari kondisi seperti ini. Kehujanan ketika melakukan ritual shalat id di lapangan terbuka dengan berjamaah. Memang benar apa kata ulama mengikuti wewantian Baginda Nabi saw mengenai keutamaan shalat id di lapangan terbuka sebagai salah satu bentuk syi'ar Islam kepada dunia yang serba plural secara ideologi dan keyakinan agama ini. Shalat id yang amat bersahaja namun kaya dengan makna.

Usai imam mengucapkan salam, tidak menunggu lama lagi, khatib menaiki sebuah mimbar sederhana yang dicat hijau untuk membawakan khutbah id. Langit tak bergeming. Awan kelabu di atas sana masih terus mengirimkan berjuta tetes air. Hikmah berkurban disampaikan dalam khutbah yang tidak lama itu. Hujan teteap membasahi rerumputan, sajadah, kopiyah, wajah, punggung, baju, celana, sarung, mukena dan apa saja yang ada di situ. Ada yang bergeser untuk sekedar berlindung di bawah pohon mangga dan di bawah tiris gedung Pusdam yang bentuk arsitekturnya sangat khas Sulawesi selatan itu. Ada juga yang tetap di tempatnya, pasrah bermandikan nikmat Allah dari langit sambil tenang mendengarkan khutbah. Khutbah lalu berakhir dengan penegasan kalimat-kalimat pengagungan Allah sawt. Aku kembali ke kamar kost di tengah kerumunan jamaah yang buru-buru pulang karena mungkin telah kedinginan dan mungkin juga lapar. Memang, karena shalat id ini dianjurkan untuk tidak makan dulu ketika pergi shalat id. Aku di kamar lalu meneruskan kebiasaan lamaku. Memenuhi hasrat mencapai halaman pamungkas sebuah novel yang kupinjam dari sebuah kafe baca.

0 komentar:

 
© Copyright by HIPPMAP Online  |  Template by Blogspot tutorial