Selamat Datang Adik-adik Calon Mahassiswa Baru di Kota Daeng...Selamat Bergabung Bersama HIPPMAP-Makassar...

Minggu, 30 November 2008

Multiinterpretasi Sombolik

ditulis oleh Rus'an Latuconsina

Tulisan ini akan singkat saja. Sekedar menanggapi sebuah tulisan cukup panjang dari bang Lan Latuamury dengan judul "Bukti Kesempurnaan Islam Hatuhaha". Yang pertama saya sangat berterima kasih dan merasa bersyukur karena ternyata ada yang bersedia membantu mengembangkan pikiran saya dengan jalan menemani berbagi gagasan, argumen dan


pendapat. Menurut saya berdialektika gagasan adalah keharusan bagi siapa saja yang menginginkan jalan pencarian. Saya tak mau sesumbar sebagai penemu kebenaran apalagi merasa sok tahu tentang apa itu Tuhan. Saya hanyalah pencari yang tidak suka dengan kemapanan, apalagi kemapanan itu dibangun dan dilegitimasikan dengan sebuah sistem pengetahuan yang menyimpan bias konteks ruang waktu dan falsifiable secara metodologis.

Refleksi-refleksi saya yang sebelumnya sebenarnya belumlah merupakan cerminan utuh dari totalitas gagasan saya, karena memang beberapa anyam aksaraku yang lalu begitu singkat terpenjara oleh ukuran artikelnya sehingga hanya sempat merekam sedikit saja. Saya hanya bisa memahat sebagian yang sempat mangkal di batok kepala ketika otak sempat memungutnya. Seperti Plato yang bergumam teguh bahwa proses mengetahui adalah proses pikiran mengingat padanan objek lahiriah yang hadir dari alam ide. Koq, nyambung nggak yah? Gagasan dibatasi kata-kata. Ini bukanlah apologia, namun ini hanyalah kata-kata untuk menyambungkan paragrafku sebelumnya.

Sebenarnya apa yang diulas dalam tulisan yang menurutku terlampau bernuansa apologic itu, tidak ada sesuatu informasi ataupun gagasan di dalamnya yang bisa membuat aku terperangah alias terkagum-kagum. Tidak ada yang istimewa di dalamnya. Bahkan menurutku biasa-biasa saja. Pikirku bahwa argumen yang dibangun dengan menggunakan argumen berlabel 'hatuhaha' dan 'ma'rifat' akan sangat wah dan luar biasa, namun ternyata jauh dugaanku. Malah di dalamnya kutemukan beberapa kontradiksi dan argumen yang tidak bermutu secara intelektual.

Saya tidak akan secara detail mengomentari satu per satu, tapi saya akan melihatnya secara pendekatan metodologi ilmunya. Ilmu tasawuf atau ma'rifat secara metodologis, kata Kang Jalal termasuk dalam salah satu paradigma epistemologi. Dalam filsafat ilmu islam, secara metodologis ma'rifat adalah suatu cabang ilmu yang wataknya interpretatif, subjektif, iluminatif, intuitif, simbolik, mistis dan transsubstansial. Ada banyak varian yang sudah ada dan diantaranya bahkan menjadi ordo gnostik yang besar dan meluas. Kita sudah sama-sama ketahui walau mungkin secara permukaan dari pelajaran sejarah mengenai persebaran ajaran Islam ke banyak pelosok negeri pada jaman dulu, termasuk ke Nusantara dan khususnya Hatuhaha. Sudah pasti Islam di Hatuhaha memiliki sejarah yang manusiawi, bukan seperti cerita dongeng, sehingga mengatakan bahwa Nabi Adam as dan nabi Muhammad saw punya jejak historis personal mistikal di Hatuhaha beserta kitabnya, kupikir itu adalah bagian dari sindrom romantisme sastra melayu kuno yang kurang logis dalam membabad dagelan purbanya.

Oleh karena ma'rifat itu wataknya seperti tersebut di atas, maka saya hanya bisa memaklumi saja (tapi bukan terpaku dan kagum) ketika ada orang yang dengan bangganya menjerat nalarnya dalam jebak nalar oposisi biner aristotelian. Mengafirmasi oposisi biner antara shalat jasad dan shalat ruh. Shalat jasad sama dengan sia-sia, namun shalat ruhlah yang akan diterima Tuhan. Lalu ada juga oposisi biner dalam menganalogikan shalat dengan hubungan seksual (biologis?) antara suami dan istri. Lalu argumen berlanjut dengan ketiadaan kewajiban shalat bagi wanita. Luar bisa... Sekali lagi luar biasa kerancuannya... aristotelian bangget...

Islam itu agama yang sudah terang. Janganlah memutar balikkan kebenaran dengan argumen yang kurang bermutu. Janganlah membandingkan antara shalat sebagaimana perintah Allah dalam al Qur'an dengan shalat yang dilaksanakan oleh anak-anak muda di Makassar misalnya, atau membandingkannya dengan banyak orang yang terlihat (di mata kita) sebagai 'tidak khusyuk' karena kesibukan aktivitas dan sebaginya yang (kelihatan) tidak sempurna menurut standar sempurna menurut menafsiran bang Lan. Apakah proposrsional membuat perbandingan seperti itu lantas mangambil kesimpulan berdasarkannya bahwa shalat seperti itu tidak khusyuk, lalu tidak sempurna, lalu masuk dalam golongan 'kebanyakan orang mengerjakan shalat padahal lalai dalam shalatnya'..?Bukankah logika seperti itu bisa pula kupakai dalam menyoroti kualitas islam a la MA'RIFAT di Hatuhaha..?Coba pikirkan, bahwa dengan membandingkan antara apa yang diklaim sebagai islam yang tinggi dan sempurna di Hatuhaha, dengan kondisi dekadensi moral dan kemanusiaan, apatisme, joget-jogetan dan pesta pora yang selalu menjadi pengiring maulid Nabi saw, idul fithri, idul adha dan banyak momen di sana yang kemudian menurutku itu adalah preseden buruk tidak bermanfaatnya islam ma'rifat hatuhaha dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Sesuatu yang diklaim sempurna dan tinggi haruslah pula bisa membawa maslahat sosial kemanusiaan dan mencegah kemungkaran dan kejahiliyahan. Bukan hanya sekedar tinggi dan sempurna di mulut, dia harus diverivikasi pada ranah sosial. Artinya dia harus mampu memainkan peran peradabannya. Logika di atas bisa membantuku untuk menjustifikasi bahwa ia sama sekali mandul dalam peran peradaban. Bagaimana..?

Membangun argumen dokotomi nalar tetaplah jatuh dalam fallacy of thinking. Semua umat Islam sependapat dalam hal keharusan shalat sempurna. Shalat hanya akan diterima oleh Allah swt apabila shalat itu memenuhi kriteria kesempurnaan shalat. Itu sudah jamak diketahui, bukan hal baru lagi. Teladan kesempurnaan tapi manusiawi adalah Nabi Muhammad saw. Dengan membangun dikotomi nalar di atas maka kecenderungan membenarkan pihak 'kami' dan menyesatkan pihak 'mereka' diteguhkan dengan pendefenisian-pendefenisian yang sebenarnya kalau hendak dilacak hal ini akan merujuk pada bagaimana model konstruksi teologis atau dalam tataran ilmu berada pada level metodologi yang kesemuanya bertendon pada kapsul interpretatif di atas. Kita bisa saja dengan mudah mendefenisikan menurut mata kita bahwa yang ini shalatnya tidak sempurna, lalu yang ini shalatnya sempurnya. Contohnya mahasiswa yang shalat di masjid kampus Unhas tidak sempurna shalatnya karena kelihatan oleh standar mata orang hatuhaha. Mungkin karena si mahasiswa ini tidak mempraktikkan metode-metode tertentu yang menurut orang hatuhaha sebagai prakondisi menuju shalat sempurna. Jadi orang yang shalat dengan metode a la hatuhaha akan sempurna shalatnya dan sebaliknya akan tidak sempurna. Bisakah kita menerima cara berpikir seperti ini?Emangnya mandat Tuhan telah diberikan kepada mata orang Hatuhaha untuk mengeliminasi status shalat seorang hamba sebagai shalat yang tidak sempurna lantaran tidak memakai metode shalat ala hatuhaha?Terlalu rasis untuk hal ini. Kita masih bisa berdebat untuk masalah ini. Metode prakondisi untuk khsyuk dansebagainya itu sebenarnya bukan tidak diketahui oleh umat Islam yang biasa shalat itu. Menurutku mereka tahu, hanya saja ada pemahaman bahwa hal-hal semacam itu (prakondisi kekhusyukan) masuk dalam urusan bid'ah bagi yang tidak ada informasi sahihnya dari Rasulullah saw, sehingga tidak dibutuhkan. Hanya saja, apakah kita bisa menghakimi ketidaksempurnaan shalat seseorang
Pakemnya standar kualitas shalat yang Allah swt beritakan dalam firmanNya dan kehidupan NabiNya saw yang menurutku haruslah dipahami sebagai peringatan akan pentingnya menjaga kualitas shalat sebagaimana yang ideal menurut Allah swt. Manusia sebagai abid dan khalifah harus menyempurnakan shalatnya. Sama halnya dengan kualitas ulil albaab. Ayat-ayat ulil albaab yang berjumlah enam belas dalam alQur'an itu menghimpun prototipe manusia ideal, diantaranya hanya takut kepada Allah swt, memiliki ilmu dan hikmah, kritis dan teguh pendirian, progresif dalam berdakwah, teguh berjuang dan suka bangun shalat malam. Al Qur'an sudah jelas bagi kita. Sunnah Nabi saw pun demikian. Sekali lagi, mengatakan bahwa shalat jasad berarti itu adalah kekeliruan berpikir. Al Qur'an tidak pernah menyuruh wanita, termasuk wanita hatuhaha untuk tidak shalat. Perintah shalat berlaku untuklaki-laki dan perempuan. Sedangkan apa yang ditulis bahwa ada larangan wanita hatuhaha shalat, itu adalah suatu interpretasi yang masih debatable dan menurutku tidak berdasar sama sekali. Hasil interpretasi simbolik seperti itu tetap saja takluk di bawah nash-nash suci al Qur'an yang memerintahkan shalat kepada laki-laki dan perempuan muslim. Tidak mudahnya khusyuk bukan berarti hilangnya kewajiban shalat. Kita juga tidak bisa secara hitam-putih membuat skala-skala kekhusyukan atau kesempurnaan shalat seseorang, karena masalah itu adalah sangat subyektif sifatnya dan sangat personal antara masing-masing orang dengan Sang Khalik.

Adapun tabel komparasi tingkat kesempurnaan yang diberikan, kupikir terlalu takabur juga seperti itu. Lagi pula kriteria komparasinya pun masih keliru dan cenderung sepihak mengistimewakan pihaknya bahkan menyesatkan. Bukan hal baru. Armahedi Mahzar dalam "Revolusi Integralisme Islam" telah memberikan yang lebih bagus. Membaca pertanyaan yang disodorkan pun saya merasa itu sebagai pertanyaan yang lucu. Pertanyaan yang biasa-biasa pula. Hakikat shalat..? Menurutku hakikat shalat itu akan banyak kalau diuraikan dengan pena dan diucapkan dengan lisan dan dialami langsung sebagai noumena talkless and writeless. Telah banyak buku dicetak untuk soal yang satu ini. Shalat itu adalah munajat. Masjid dikatakan baitullah, siape yang bilang..?Itu kan interpretasi orang. Hamparan bumi ini adalah masjid. Masjid tempat sujud hamba-hamba kepada Allah swt. Mimbar..?feodalis sekaaliii... Emangnya harus mimbar..?Hakikat itu hanya Allah swt yang tahu. Aku shalat bukan berarti aku harus main-main. Karena itu namanya bukan shalat. Sekali lagi, masalah ini sudah jamak orang tahu. Yang bisa mengetahui kualitas shalat kita hanyalah Allah swt, jadi jangan sok tahu.

Lagi-lagi masih pakai model berpikir binarian. Wudhu jasad versus wudhu ruh. Memakai dalil yang bersumber dari bahasa Hatuhaha bukan berarti dalil itu akan benar dengan sendirinya. Sebelum saya menutup tulisan ini, ada pertanyaan balik buat bang Lan. Sejak kapan (sesuai di tulisan itu) Nabi-nabi dari Adam as sampai dengan Muhammad saw dan para sahabatnya berada di Hatuhaha mengajarkan Islam..?Siapakah guru Hatuhaha itu, berapa jumlahnya, tinggal di mana, asalnya dari mana, wafatnya kapan, kuburnya di mana? tolong ya dijelaskan secara logis dan koheren dengan fakta sejarah...

Apapun penjelasan yang dibangun, hujjah yang dilontarkan, analisis yang disampaikan, ketika masih menggunakan logika oposisi binarian, maka menurutku permasalahannya sudah menjadi akut, karena sebelum kata-kata itu menghunus, sudah ada frame berpikir yang keliru lebih awal di batok kepala. Alur berpikir meluncur sesuai aliran nalar yang terformat oposisi binarian. Ada islam syariat, ada yang luar biasa, ma'rifat. Ada yang shalat jasad, ada yang shalat ruh. Ada wudhu jasad, ada wudhu ruh, seterusnya dan seterusnya. Padahal Islam itu kaffah. Kata siape orang Islam yang shalat itu hanya shalat seperti olahraga/shalat jasad saja alias tidak menghadirkan adab-adab batiniah shalat? Jangan terlalu buru-buru menyimpulkan dari doktrin binarian itu tanpa konfirmasi empirikal. Datanglah di masjid-masjid, saya percaya kita bisa menemukan orang yang kualitas shalatnya bagus, walau ada pula yang terlihat tergesa-gesa. Kalau dibalik, apakah dijamin bahwa semua orang yang shalat di masjid Hatuhaha atau masjid Pelauw itu akan secara mudahnya mendapatkan kualitas shalat khusyuk lantaran mengikuti prosedur metode shalat a la ma'rifat..?Apakah dengan mengikuti metode atau prosedur saja sudah bisa menjamin shalat seseorang menjadi khusyuk alias mencapai kualitas shalat ruh..? Kalau iya, begitu prosedurkah mau mendapatkan kualitas ma'rifat..? Apakah kualitas ma'rifatullah itu bisa didapatkan secara prosedural saja, klaim sajakah dan haruskah mengikuti prosedur peribadatan a la hatuhaha..? Sudah terlalu banyak aliran ma'rifat ini dan masing-masing juga mengandung sindrom megalomaniak, paling superior. Orang Hatuhaha bilang versinya yang superior, orang Bugis juga demikian. Ada pula di Jawa. Di Timur Tengah bagaimana..?lebih banyak lagi. Kita harus lebih tawadhu dengan fakta seperti ini.

0 komentar:

 
© Copyright by HIPPMAP Online  |  Template by Blogspot tutorial