Selamat Datang Adik-adik Calon Mahassiswa Baru di Kota Daeng...Selamat Bergabung Bersama HIPPMAP-Makassar...

Sabtu, 13 September 2008

Menengok Sekolah Keislaman di Kampung Kita

ditulis oleh Rus'an Latuconsina

Ada pepatah yang mengatakan bahwa di manapun tempat adalah sekolah, siapapun bisa menjadi guru kita dan banyak hal bisa menjadi ilmu. Paolo Freire, Ivan Illich dan para penggiat pendidikan emansipatoris selalu mengedepankan model pendidikan hadap masalah, subyek-subyek dan kontekstual untuk tujuan transformasi sosial. Jadi ilmu pengetahuan yang didialektikakan antar subyek pembelajar semata-mata demi kemaslahatan manusia yang paling nyata dan saat itu. Subyek materi pembelajaran bukanlah sesuatu yang sifatnya das ding ansich yang melangit sifatnya, namun selalu menyejarah dengan lokus perikehidupan kemanusiaan. Pembelajaran yang kontekstual yang memihak masyarakat akan kebutuhan-kebutuhan hidupnya yang berkaitkelindan dengan struktur sosial politik di sekitarnya. Pembelajaran untuk pembebasan manusia dari belenggu yang terstruktur lewat primordial rezim pendidikan.

Pembelajaran keislaman di negeri Pelauw, menurut hemat saya sangat tidak dialektis, demokratis, emansipatoris dan transformatis. Betapa tidak, sistem pembelajaran keislaman di kampung kita itu terlalu paternalistik dan phallocentritic. Kedua istilah terakhir ini menunjukkan bahwa ada otoritas tertentu yang terkonstruk secara kultural membentuk rezim otoritas pembelajaran keagamaan. Ia bisa mengarah kepada dogmatisme keagamaan yang dalam batas tertentu hal ini sangat tidak membebaskan bagi transformasi nilai-nilai Islam bagi kemaslahatan umat pada konteks sosial kultural yang selalu berubah-ubah.

Tidak adanya semacam Pesantren (Jawa) atau Hauzah Ilmiyah (Iran) yang menjadi sekolah khusus pembelajaran Islam di kampung kita adalah sebuah kekurangan kita. Ada madrasah di sana, namun kelihatan tidak terlalu radikal dan maksimal di dalam pembelajaran Islam. Ada pula taman-taman pengajian, namun sayangnya wadah-wadah ini akan berakhir kegiatannya tatkala guru ngaji-nya wafat atau berusia sepuh. Ada pula kita mengenal istilah rumah guru, namun saat ini institusi itu sudah kurang menampakkan fungsi edukasinya, malah hanya terkesan formalistik saja, paling banter hanya kelihatan bagi pemenuhan pembelajaran orang berusia tua yang hendak belajar mengaji untuk maksud pasapuru, hutbah jum'at dan lain-lain. Belum ada yang tampak bagi geliat secara sistematis dan kontinyu pembelajaran bagi generasi balita hingga remaja dan dewasa (belum menikah). Nah, untuk segmen yang belakangan inilah kelihatan kosong dari pembelajaran keislaman secara memadai layaknya pembelajaran islam yang seidealnya. Pembelajaran pada lembaga yang memfasilitasi sekolah keislaman seperti di atas tentu saja harus bersifat inklusif bagi kebenaran serta menghajatkan kemaslahatan kehidupan sesuai tuntunan Allah swt dan teladan Nabi saw.


Masih kurangnya pendidikan Islam di kampung kita menjadi sesuatu yang patut kita ratapi. Hal ini karena kalau generasi muda kita sudah buta terhadap ajaran-ajaran Al Qur'an dan sunnah Nabi saw, maka sangat susah mengaharapkan bangkitnya generasi yang lebih baik.Bisa-bisa yang muncul adalah generasi yang karena tidak mengenal khazanah Islam, mereka hanya menjadi generasi yang dimangsa oleh budaya kapitalisme neoliberal, seperti pada food, fun and fashion dan maniak epicureanisme.

O
leh karena pada kenyataannya terjadi kurang optimal bahkan sampai misfungsi sekolah keislaman di sana, maka seharusnya menjadi tanggung jawab banyak pihak untuk segera membenahinya. Karena pekerjaan untuk sekolah dan pencerdasan keagamaan adalah sebuah amal kebaikan yang dituntut aksentuasinya oleh ajaran agama kita. Pendidikan adalah spirit bagi perubahan sosial. Perubahan dari yang jelek menuju kepada yang baik, sesuai dengan standar baik menurut Allah swt. Pendidikan Islam adalah keniscayaan bagi generasi muda serta kaum tua.

0 komentar:

 
© Copyright by HIPPMAP Online  |  Template by Blogspot tutorial