Selamat Datang Adik-adik Calon Mahassiswa Baru di Kota Daeng...Selamat Bergabung Bersama HIPPMAP-Makassar...

Sabtu, 20 September 2008

Harga Makin Naik, Mahasiswa Apatis?

ditulis oleh Rus'an Latuconsina

Siapapun di tanah air bisa merasakannya. Mau golongan tajir atau tidak sama-sama merasakan dampaknya. Kenaikan harga bahan-bakar minyak dan elpiji menyebabkan naiknya harga kebutuhan pokok sehari-hari. Tak ketinggalan pula ongkos transportasi dan banyak yang lain. Sebuah efek domino yang menghantam seluruh sektor kehidupan. Kenyataan yang amat pahit dirasakan terutama oleh masyarakat yang kurang mampu. Seperti kita ketahui bahwa beberapa waktu lalu pemerintah menaikkan harga bahan bakar gas (BBG) elpiji setelah harga bahan bakar minyak (BBM) telah dinaikkan lebih dulu. Dalam settingnya yang lalu itu telah dibuat program konversi dari BBM ke BBG. Pemerintah kemudian berencana melanjutkan menaikkan harga elpiji 20 kg dan 50 kg ke tingkat harga keekonomian (pasar global) secara bertahap.

Harga keekonomian elpiji pada Agustus 2008 pada saat kebijakan kenaikan itu berada pada harga Rp.11.400/kg. Seperti dilaporkan oleh detikfinance.com Pertamina sejak 25 Agustus 2008 menaikkan
harga elpiji 12 kg sebesar 9,5%. Sementara elpiji 50 kg, dikurangi diskonnya dari 15% menjadi 10%.Harga jual elpiji 12 kg naik dari Rp 5.250/kg menjadi Rp 5.750/kg atau naik dari Rp 63.000/tabung menjadi Rp 69.000/ tabung. Sementara harga jual elpiji kemasan 50 kg, dikurangi diskonnya dari 15% menjadi 10% atau dari harga Rp 6.878/kg menjadi Rp 7.255/kg. Dengan demikian harga dalam kemasan 50 kg naik dari Rp 343.900/tabung menjadi Rp 362.750/tabung. Harga jual elpiji 12 kg naik dari Rp 5.250/kg menjadi Rp 5.750/kg atau naik dari Rp 63.000/tabung menjadi Rp 69.000/ tabung. Menjelang Ramadhan kemarin langkah itu telah dimulai dan nantinya akan naik lagi sampai ke tingkat keekonomian. Itu adalah sebuah fakta mengenai ketidakberpihakannya rezim pemerintahan SBY-JK terhadap nasib jutaan rakyat Indonesia yang mayoritas adalah warga miskin.

Pemerintah SBY-JK kemudian 'merayu' gejolak kesusahan hidup itu dengan menyumpali mulut rakyat miskin dengan program BLT (bantuan langsung tunai). Program yang sama seperti ketika pemerintah melakukan hal yang sama pada tahun 2005 lalu. BLT kedua ini diberikan Rp.100.000/keluarga kepada 19,1 juta kepala keluarga miskin di seluruh Indonesia selama tujuh bulan sejak Juni sampai Desember 2008. Penyaluran BLT ini pun bermasalah karena data yang dipakai pemerintah adalah data tahun 2005. Selain itu terjadi kekacauan pada saat pembagiannya. Ada banyak warga miskin yang tidak menerima. Ada pula warga yang menerima, akan tetapi tidak dimanfaatkan sesuai tujuannya. Banyak kasus seputar BLT yang melenceng dari substansinya, selain pemberian BLT adalah salah satu bentuk instanisasi dan kelemah-akalan pemerintah mengurusi rakyatnya

Mengapa mengawali tulisan ini dengan ulasan singkat kondisi harga bahan bakar yang melambung? Tulisan berikut ini penulis berupaya runutkan ketersambungannya dengan kondisi di atas, terutama mengenai nasib para mahasiswa yang tergolong berasal dari keluarga kurang mampu secara ekonomi. Berdasarkan data dari BPS (walau data ini kontroversial karena berbeda dengan data Bank Dunia yang melaporkan jumlah kaum miskin Indonesia adalah hampir separuhnya dari jumlah penduduk Indonesia) per Maret 2008, jumlah rakyat miskin Indonesia berada pada angka 34,96 juta. Hal ini menunjukkan bahwa rakyat miskin di Indonesia sangat tinggi. Dari data ini berarti masih ada banyak mahasiswa Indonesia yang berasal dari keluarga miskin. Sedangkan kemiskinan di negeri kita sebagian besar lebih disebabkan oleh faktor struktural. Jadi yang terjadi adalah kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural tak bisa dicarikan solusinya dari pembenahan individual. Karena kalau yang terakhir ini dipilih, maka yang terjadi hanyalah muncul puncak-puncak piramida orang sukses. Orang sukses hanya sedikit saja karena mereka adalah the survival of the fittest, orang yang memenangi pertarungan hidup, sedangkan di bawah mereka bertumpuk massa rakyat dengan kemiskinannya yang mengenaskan. Kemiskinan sistemik harus diselesaikan secara sistemik pula. Sehingga kalau ada orang yang mengatakan bahwa kemalasan adalah faktor determonator kemiskinan di tanah air, maka itu adalah anggapan keliru. Bagaimana bisa seorang petani gurem bersaing dengan pemilik korporet besar yang dimanjakan pula oleh penguasa?

Ketika pemerintah menaikkan 'harga-harga kehidupan' itu, banyak terjadi perlawanan dari elemen rakyat dan mahasiswa. Perlawanan itu adalah sesuatu yang niscaya terjadi ketika pada kenyataannya rezim SBY-JK telah menempuh kebijakan yang bertentangan dengan UUD 1945 sebagai dasar hukum tertinggi negeri ini. Pelanggaran atas pasal 9 mengenai janji presiden dan wakil presiden serta pasal 33 (3) UUD 1945. Pasal 9 menyebutkan: Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut :
Sumpah Presiden (Wakil Presiden):
"Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.
"Janji Presiden (WakilPresiden):
"Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa."
Sedangkan pasal 33 (3) UUD 1945 menyebutkan: "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."

Rezim SBY-JK lebih mementingkan pihak korporet besar ketimbang nasib dan kemaslahatan rakyatnya. Skandal eksploitasi sumberdaya alam tanah air telah berlangsung lama, kemudian dilanjutkan oleh rezim penguasa kali ini. Tidak jauh-jauh nasib negeri ini dari kemiskinan yang meluas oleh karena salah urus secara meluas, secara sistematis. Sudah saatnya salah urus sumberdaya alam itu diperbaiki demi kemaslahatan rakyat. Karena itu paket undang-undang yang berkaitan harus segera diperbaiki dan diganti dengan undang-undang yang memihak rakyat kecil. Undang-Undang Migas No. 22/2001, UU Penanaman Modal Asing No. 25/2007, UU No. 01/1967, UU No. 11/1967 dan UU No. 19/2004 yang selama ini menjadi hujjah salah urus tersebut.

Walaupun tampak sporadis perlawanan atas kebijakan pemerintah itu, namun sayangnya hanya minoritas saja dari elemen rakyat dan mahasiswa yang baru turut bergabung dalam front itu. Sangat disayangkan keadaan ini karena semestinya perlawanan itu meluas. Semestinya semua mahasiswa melawan, semua rakyat melawan, minimal perlawanannya lewat aksi demonstrasi di jalanan, apalagi sampai saat ini elite parlemen masih berposisi kucing-kucingan, strategi kucing menjelang pemilu 2009, jadi mereka tetap tidak all out mengusung agenda yang pro rakyat. Paling-paling sekedar tebar pesona sana demi meraup imej untuk memperoleh simpati. Ketika ada minoritas yang turun ke jalan, masih banyak mahasiswa yang tidak mau peduli. Padahal sekarang ini kita bisa sama-sama merasakannya langsung bagaimana efek kenaikan itu. Kita ke mana-mana sekarang butuh ongkos banyak karena ongkos pete-pete mahal sekarang. Kita beli lauk atau makan di warung dekat kost pun sudah mahal. Harga-harga sudah mahal. Kenaikan ini tidak diikuti kenaikan pula pendapatan orang tua di kampung, apalagi sebagian besar orang tua di Indonesia ini adalah masuk dalam angka 43,96 juta di atas. Sudah tentu hal ini sangat memberatkan mahasiswa. sementara pengeluaran untuk kebutuhan kuliah juga tak bisa dihindari.

Orang yang mau peduli terhadap nasib sesama, nasib sesama orang Indonesia yang dimiskinkan secara sistemik oleh negara, kini sangat sedikit. Tidak sedikit kita menjumpai banyak anak muda yang tidak memiliki kesadaran kemiskinan bangsa ini. Kebanyakan yang kita dapati adalah kecenderungan meluasnya budaya anak muda hedon, mahasiswa salon dan orang-orang apatis. Hanya tahu bahwa ongkos 'kehidupan' telah naik, naik banget, namun tak pernah mau tahu dari mana asal kenaikan itu dan apa posisi kita dalam kondisi seperti itu. Kebanyakan hanya sibuk dengan dunia sendiri. Padahal kita adalah bagian dari bangsa yang angka kemiskinannya sangat tinggi, kemudian fakta kemiskinan itu dalam kasus yang sangat dekat dengan mata kita adalah mahalnya ongkos-ongkos hidup kita. Masihkah kita mau menutup mata hati empati sosial kemanusiaan kita di saat perut kita telah kenyang?

0 komentar:

 
© Copyright by HIPPMAP Online  |  Template by Blogspot tutorial