Selamat Datang Adik-adik Calon Mahassiswa Baru di Kota Daeng...Selamat Bergabung Bersama HIPPMAP-Makassar...

Senin, 07 Juli 2008

Bacalah untuk Pencerahan, Menulislah untuk Peradaban

oleh: Rus'an Latuconsina

Diantara kita pasti sudah mengenal sosok Buya Hamka, Pramoedya Ananta Toer, Haji Agussalim dan lain-lain yang walau tak pernah mengenyam pendidikan formal tinggi, namun melalui pembelajaran otodidaknya, mereka bisa terkenal sebagai manusia 'besar' yang berkontribusi atas pembangunan bangsa ini. Mereka menggeluti dunia tulis-menulis, tentu saja dengan sikap apresiasi tinggi terhadap budaya membaca. Membaca secara holistik muatan epistema realitas kehidupan yang sempat tertangkar zamannya.

Tulisan ini adalah semacam refleksi singkat kondisi ketiadaan budaya membaca dan menulis di desa Pelauw. Budaya membaca dan menulis yang saya maksudkan adalah lebih dari sekedar rutinitas membaca dan menulis (menyalin) muatan pelajaran baik di sekolah maupun perguruan tinggi yang telah lumrah berlangsung. Membaca yang saya maksudkan berarti mendayagunakan secara ekspresif dan optimal potensi kesadaran akal budi manusia untuk menggali wacana, menimba informasi, mengikat hakikat, menggigit kata, menafaskan diri menuju pencerahan diri meraih ilmu pengetahuan, baik pengetahuan konvensional (rasional empirik, logika analitik, qauniyah) maupun pengetahuan intuitif-hudhuri (logika sintetik, qauliyah). Kemudian menulis lebih kepada upaya mengikat makna, memfosilkan sayap-sayap aksara penyusun ubin peradaban. Oleh karena setiap peradaban di muka bumi ini selalu ditulis dengan kata-kata. Menulis untuk peradaban. Menulis untuk mengapresiasi aspek-aspek liturgi sosial dan humaniora. Entah berkait kedalam pilinan hasrat kemengadaan dan kemenjadian individu maupun geliat fenomena dan noumena zaman secara luas. Sementara budaya lebih kepada gambaran habitus sosial yang telah menganggap membaca dan menulis seperti beras, ikan, sayur dan air minum. Sangat penting dan harus dipenuhi setiap hari sebagai nutrisi ruhani.

Mengapa tak ada budaya membaca?

Terburu-buru menjatuhkan vonis adalah keteledoran. Namun untuk maksud pemenuhan nalar dialektis, maka hal itu dimungkinkan, asalkan masih bisa memenuhi syarat rasionalisasi argumen. Kurangnya minat membaca dan menulis (seperti defenisi di atas) di Pelauw adalah sebuah fakta. Sesuatu yang bahkan telah membudaya pula. Budaya malas membaca dan menulis. Hal ini bisa kita saksikan di mana-mana (pengecualian bagi sedikit saja), entah di desa entah di kota hampir tidak berbeda. Yang berlangsung hingga kini adalah budaya oral (tutur). Orang Pelauw (dugaan kuat masyarakat Maluku secara luas) lebih suka ngomong secara verbal lisan ketimbang ngomong lewat tulisan. Inilah kenyataan yang berlangsung di sana.

Satu pertanyaan adalah mengapa orang Pelauw kurang tertarik membudayakan membaca dan menulis dalam masa-masa berperikehidupan dan kemanusiaan mereka? Haruskah hal ini diterima saja sebagai sesuatu yang tak usah dijamah, dikorek, disentuh, dipikirkan, dibicarakan dan atau diubah? Jawaban atas pertanyaan ini menjadi tanggung jawab setiap kaum muda Pelauw maupun kaum tua yang mau melihat adanya perubahan. Perubahan tananan dari yang eksklusif-konservatif-statis-antroposentrisme, menuju kepada tatanan yang inklusif-demokratik-progresif-teosentrisme tauhid. Meniatkan, menginisiasikan dan merencanakan suatu perubahan sosial lewat rekayasa sosial (seperti dikatakan Kang Jalal) memerlukan prakondisi realitas yang telah tersentuhi pencerahan ilahiah, baik bagi individu maupun tatanan sosial. Karena perubahan sosial mustahil terwujud kalau individu dan masyarakat masih terjerati kesesatan berpikir (fallacy of thinking). Membaca dan menulis merupakan wahana yang cukup efektif untuk meretas jalan menuju pencerahan.

Menganggap fakta sosial yang timpang dari idealita adalah keniscayaan merupakan sikap kepengecutan kaum intelektual. Ini berarti sikap memilih jalur konservatif apatis. Sementara memilih sikap sebaliknya, yakni memosisikan fakta sosial yang berdeviasi dari orbit idealita sebagai entitas yang niscaya dirubah merupakan sikap yang benar sebagai implementasi tanggung jawab intelektual. Dalam Islam, Rasulullah saw menghendaki umatnya progresif mengadvokasi fakta sosial yang melempem itu menuju cita-cita keselamatan dunia dan akhirat. Mendiamkan diri terhadap kezaliman di depan mata adalah sebuah kutukan, apalagi yang diam itu adalah inteletual. Islam memerintahkan liberation (pembebasan), humanisasi dan transendensi (QS. Ali Imran: 110) seperti digambarkan oleh Kuntowijoyo (2004) untuk memberi kekuatan pendobrak sebuah cita-cita transformasi sosial yang dinafasi tauhid.

Selayaknya kita mulai sekarang mengkampanyekan budaya membaca dan menulis bagi masyarakat kita secara luas. Melakukannya adalah pekerjaan besar dan berat. Namun akan terasa mudah apabila dilakukan mulai sekarang, dari hal terkecil dan tetap konsisten. Ini membutuhkan kerjasama dari banyak pihak. Tidak usah sampai kampanye serba mewah yang biasanya tebar citra dan prosedural belaka. Yang lebih penting adalah siapa yang mau memulai, siapa yang mau mengawal dan memperkuat jaringan ini dari mulai merambahi kawan-kawan mahasiswa sendiri hingga tingkat pelajar sekolah dan masyarakat. Sebagai gambaran teknis seperti menghidupkan sel-sel kajian, bengkel menulis, klub sastra, memperbanyak koleksi buku dan bahan bacaan lain
sudah lumayan. Kampanye model ini membutuhkan stamina intelektual yang cukup banyak karena harus disadari bahwa pekerjaan seperti ini adalah pekerjaan besar mengenai manusia yang biasanya dianggap remeh oleh banyak orang yang tak mau peduli. Viva mahasiswa, viva kaum muda Pelauw ...!!!


0 komentar:

 
© Copyright by HIPPMAP Online  |  Template by Blogspot tutorial