Selamat Datang Adik-adik Calon Mahassiswa Baru di Kota Daeng...Selamat Bergabung Bersama HIPPMAP-Makassar...

Minggu, 05 April 2009

Kritik Wacana Agama

oleh : Suratno

APOLOGIA

Ketika diminta pihak panitia untuk menulis makalah tentang Kritik Wacana Agama (KWA), wa bilkhusus, yang menyangkut Arqoun dan al-Jabiri, saya merasa berkeberatan. Saya menyadari bukanlah seorang “pembaca Arqoun dan al-Jabiri” yang baik. Oleh karenanya, saya hanya menyusun makalah yang lebih banyak menjelaskan tentang KWA secara filosofis, dengan menjelaskan istilah-istilah kuncinya (sesuatu yang I am more concerned with). Untuk memahami KWA sebagai sebuah kritik epistemology, menurut saya, pertama-tama kita harus memahami dulu dasar-dasar epistemologis dari “kritik epistemology” tersebut. Dalam konteks itulah, makalah ini saya tulis. Akhirnya, saya minta maaf jika makalah ini terasa seperti bahan untuk kuliah. Yaa, begitulahh!

KWA & FILSAFAT: Penjelasan Istilah Kunci

KRITIK. Kritik berasal dari kata bahasa Yunani kritikos yang berarti kemampuan menganalisa dan menilai sesuatu. Meskipun filsafat kritis membentang dari kritisisme sampai teori kritis; dari Kant, Hegel, Marx, Freud sampai madzhab Frankfurt (Habermas dkk), tetap saja orang akan mula-mula merujuk pada kritisisme yang digagas Immanuel Kant (1724-1804). Kritisisme apa yang dimaksudkan Kant? Melalui trilogy kritik-nya yang sangat terkenal yakni; (1)Kritik der Reinen Vernunft (Kritik atas rasio murni), (2) Kritik der Praktischen Vernunft (Kritik atas rasio praktis) dan (3) Kritik der Urteilskraft (Kritis atas daya pertimbangan), Kant ingin menegaskan bahwa aufklarung adalah jalan keluar untuk membebaskan manusia yang masih menggantungkan diri pada otoritas diluar dirinya. Pendeknya, Kant menyatakan bahwa harus ada upaya untuk menentukan batas-batas kemampuan dan syarat kemampuan rasio agar kita bisa menentukan apa yang mungkin diketahui, kita kerjakan dan kita gantungi harapan. Inilah kritisisme yang maksud Kant.

Dengan trilogi kritiknya itu, Kant berusaha “memeriksa kesahihan pengetahuan” secara kritis, tidak dengan pengujian empiris dan rasional, melainkan dengan asas-asas a priori dalam diri subjek. Karena itu filsafatnya terkadang disebut juga transendentalisme, sebab ia mau menemukan asas-asas a priori dalam rasio kita yang berkaitan dengan objek-objek dunia luar; yakni apa yang disebutnya sebagai die bedingung der moglickheit (syarat-syarat kemungkinan) dari pengetahuan kita. Sebuah penelitian disebut transcendental kalau memusatkan diri pada kondisi-kondisi yang murni dalam subjek pengetahuan. Di sini Kant sebenarnya mau membuat sintesis antara empirisme yang mementingkan pengetahuan a posteriori dengan rasionalisme yang mementingkan pengetahuan a priori. Dalam filsafat Kant, pengetahuan dijelaskan sebagai hasil sintesis antara unsur-unsur a priori dan a posteriori.

Filsafat Kant biasanya disebut kritisisme. Istilah ini lazimnya dipertentangkan dengan dogmatisme. Jika dogmatisme merupakan filsafat yang menerima begitu saja kemampuan rasio tanpa menguji batas-batasnya, kritisisme dipahami sebagai filsafat yang lebih dulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio sebelum memulai penyelidikannya. Dengan kata lain, Kant ingin mengatakan bahwa kritisisme adalah filsafat yang lebih dulu menyelidiki die bedingung der moglickheit pengetahuan kita. Oleh Karenanya, Kant menyebut beberapa filsuf sebelum dirinya sebagai filsuf dogmatis dan yang terbesar dari mereka menurutnya adalah Wolff. Mereka ini bermetafisika tanpa menguji kesahihan metafisikan itu. Demikianlah bahwa kata kritik dipahami oleh Kant sebagai pengujian tentang kesahihan pengetahuan.

WACANA. Barasal dari kata bahasa Inggris discourse. Biasa juga disebut diskursus. Istilah ini banyak dibicarakan dalam Hermeneutika (Filsafat penafsiran dan pemahaman). Paul Ricoeur, misalnya, menegaskan bahwa tugas hermeneutika adalah untuk menafsirkan dan memahami “teks”, yang ia definisikan sebagai any discourse fixed by writing. Jadi unsur utama dari teks, menurut Ricoeur, adalah wacana.

Dengan istilah wacana, Ricouer merujuk kepada bahasa sebagai event, yakni bahasa yang membicarakan sesuatu. Ini digunakannya untuk membedakan bahasa sebagai meaning. Jika bahasa sebagai meaning adalah dimensi non-historis dan statis, maka bahasa sebagai event adalah dimensi yang hidup dan dinamis. Ricouer mengatakan: “bahasa selalu mengatakan sesuatu, sekaligus tentang sesuatu”. Pendeknya, wacana adalah bahasa ketika ia digunakan untuk berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan. Bahasa lisan membentuk komunikasi langsung sehingga hermeneutika tidak diperlukan karena ujaran yang disampaikan (speech) masih terikat langsung pada pembicaranya dan maknanya masih bisa dirujuk langsung kepada intonasi maupun gerak isyarat (gesture) sipembicara.

Sementara, bahasa tulisan (teks) merupakan korpus yang otonom karena, menurut Ricoeur, memiliki kemandirian dan totalitas yang dicirikan oleh 4 hal, yakni: (1) dalam teks, makna terdapat pada “apa yang dikatakan (what is said) terlepas dari proses pengungkapannya (the act of saying), sedangkan dalam bahasa lisan kedua hal tersebut tidak terpisahkan. (2) oleh karenanya, makna teks menjadi tidak terikat lagi kepada pembicaranya sebagaimana bahasa lisan. Apa yang dimaksudkan teks menjadi tidak terikat lagi dengan apa yang awalnya dimaksudkan oleh penulisnya karena terhalang oleh teks yang sudah membaku. Riceour sempat mengatakan “kematian penulis” meski ia lebih suka menyatakan penulis sebagai “pembaca pertama”. (3) karena tidak lagi terikat pada sistim dialog, maka teks tidak lagi terikat pada konteksnya semula (ostensive reference), ia tidak terikat lagi pada konteks awal pembicaraan. Apa yang ditunjuk oleh teks adalah dunia imajiner yang dibangun oleh teks itu sendiri. (4) dengan demikian juga, teks tidak lagi terikat dengan audiens awal, sebagaimana bahasa lisan terikat pada pendengarnya. Sebuah teks ditulis bukan untuk pembaca tertentu, melainkan kepada siapapun yang bisa membaca, dan tidak terbatas pada ruang dan waktu tertentu.

Filsuf lainnya yang banyak membicarakan wacana adalah Michel Foucault. Melalui metodologi arkeologi pengetahuan (archeology of knowledge), Foucault mengulas lebih jauh tentang wacana (discourse), bentuk wacana (discursive formation), pernyataan (statement), dan praktik wacana (discursive practice). Dalam the Discourse on Language (yang termuat dalam the Archeology of Knowledge), Foucault memperkenalkan teori kuasa dalam teori wacana. Dalam hal ini, kuasa dilihat dengan cara pandang negative, yaitu sebagai prosedur yang membatasi wacana. Lebih jauh, menurut Foucault, dalam setiap masyarakat, produksi wacana adalah sekaligus dikontrol, diseleksi, diorganisasi, dan diretribusikan menurut sejumlah prosedur pasti yang fungsinya digunakan untuk menghindari bahaya dan kuasanya, mengatasi peristiwa yang tak terduga, mengelakkan dari hal yang buruk dan materialitas yang mempesona. Dalam sebuah masyarakat, ada sejumlah prosedur atau aturan eksklusi, yang dikategorikan menjadi 3 yakni: (1) larangan yang saling-bersilang dan mempengaruhi satu sama lain dalam jaringan yang kompleks, biasanya dalam seksual dan politik, (2) adanya aturan pemisahan dan penolakan, biasanya dalam reasons dan kegilaan, (3) oposisi antara yang benar dan salah, contohnya dalam masyarakat tertentu, yang benar dan yang kuasa dari suatu wacana bukan terletak dalam apa yang dikatakan, tapi dalam siapa yang mengatakan dan bagaimana itu dikatakan.

Praktik wacana (discursive practice) sebagai proses produksi, distribusi dan konsumsi teks dipandang Foucault sangat penting sebagai sebuah medium dan instrument dari pergulatan kuasa, perubahan dan juga konstruksi sosial. Pergulatan kuasa berlangsung baik di dalam maupun atas wacana. Wacana mentransmisikan, memproduksi dan mengukuhkan kuasa, tetapi sekaligus juga melemahkan kuasa, membuatnya menjadi rapuh dan memberi kemungkinan untuk merintangi kuasa. Maka, mengubah praktik wacana merupakan elemen penting bagi perubahan masyarakat. Ini karena wacana, paling tidak, memberi kontribusi bagi pembentukan identitas dan relasi social dan pembentukan ideasional atau sistim-sistim pengetahuan dan kepercayaan social.

Lebih jauh, Foucault juga konsern dengan kritik sejarah, terutama dikaitkan dengan metode-metodenya yang khas, yakni arkeologi (pengetahuan) dan genealogi. Arkeologi, menurut Foucault, adalah untuk menguji archive (arsip), yakni sistim-sistim yang memantapkan statemen-statemen baik sebagai peristiwa (dengan kondisi dan ruang pemunculannya) maupun sebagai sesuatu atau material (dengan kemungkinan dan aplikasinya). Dengan demikian, tugas arkeologi adalah untuk menganalisis historical apriori of episteme (apriori histories atas episteme/sistim pemikiran). Episteme adalah kondisi yang memungkinkan bagi munculnya pengetahuan dan teori dalam masa tertentu. Untuk itu arkeologi (pengetahuan) harus memperlihatkan konfigurasi dari pengetahuan yang muncul yang berbeda dari pengetahuan yang empiris atau eksplisit. Implikasinya dalam bidang sejarah pemikiran adalah semakin berkembangbiaknya diskontinuitas-diskontinuitas dalam sejarah pemikiran karena kecenderungan untuk menekankan pada kontinuitas akan semakin ditinggalkan.

Sementara itu, genealogi bertujuan untuk melawan penulisan sejarah dengan metode tradisional. Genealogi merupakan sejarah yang ditulis dalam terang penglihatan dan kepedulian masa kini. Menurut Foucault, sejarah selalu ditulis dalam perspektif masa kini. Genealogi tak berpretensi untuk kembali ke masa lalu dengan tujuan untuk memulihkan sebuah kontinuitas yang tak terputus. Sebaliknya, ia berusaha mengidentifikasi hal-hal yang menyempal (accidents) dan mengidentifikasi penyimpangan-penyimpangan (the minutes of deviation).

Jurgen Habermas, filsuf teori kritis, juga tidak boleh kita lupakan ketika membicarakan wacana. Konsepnya tentang ruang public (public sphere) sangatlah penting. Hal ini karena ruang public merupakan lokasi tempat banyak wacana diekspresikan dan merupakan tempat kegiatan intelektual dan politik diaktualisasikan. Istilah ruang publik merujuk pada domain kehidupan social tempat opini public terbentuk. Habermas membedakan ruang public borjuis dan ruang public ideal. Ruang public borjuis semata-mata didasarkan atas dasar komposisi kelas dari para anggotanya. Ketika ruang public ini semakin meluas dan semakin banyak partisipannya, situasi ini akan menyebabkan degenerasi terhadap kualitas dari wacana public. Dalam ruang public ideal, menurut Habermas, terjamin adanya kesetaraan serta argument yang kritis dan rasional. Partisipan dalam diskursus public ini tidak terhambat oleh ketidaksetaraan dalam kuasa atau ruang. Para warga negara, misalnya, bisa mempengaruhi negara tanpa harus mengalami tekanan koersi negara. Pengaruh ini untuk sebagian bersifat informal dan menjadi bersifat formal secara periodic hanya selama pemilihan umum.

Hal lain yang tak kalah pentingnya dari Habermas adalah konsepnya tentang kritik ideology. Dalam hermeneutika, menurut Habermas, penafsiran bukanlah merupakan unproblematic meditation of subjectivities hanya karena disatukan oleh eksistensi mereka dalam suatu tradisi umum. Lebih jauh, bahkan tradisinya itu sendiri harus dikenai analisis kritis, yakni kita perlu mengetahui apa yang tersembunyi dibalik wacana-wacana dominant, bagaimana sebuah consensus akhirnya dibentuk dan berbagai penjelasan tentang diskontinuitas makna dan kesalahpahaman. Asumsinya, selain berfungsi sebagai landasan primer komunikasi, Habermas juga mengkritik bahasa sebagai medium dominasi dan kekuasaan dalam masyarakat. Standar penafsiran yang memadai, dengan demikian, bukan hanya aspek-aspek internal kebahasaan dan makna yang tersembunyi dari teks. Lebih jauh, ia adalah juga keputusan yang berasal dari factor eksternal, dan hal itu terkait dengan identifikasi hubungan dan proses social politik yang memproduksi, mendistorsi, mengolah dan memonopoli makna, sehingga terjadi proses yang, meminjam istilah Gramsci, kita kenal sebagai hegemoni.

Menurut Habermas, kritik ideology dapat kita lakukan dengan 4 tahapan, yakni: (1) Deskripsi dan interpretasi situasi yang ada. Pada tahapan ini penelitian hermeneutika (verstehen) diperlukan untuk mengidentifikasi dan memahami situasi yang ada, (2) Melakukan refleksi terhadap factor penyebab situasi yang ada serta tujuan yang ingin dicapainya. Pada tahap ini dilakukan analisis kepentingan, ideology, kekuasaan serta legitimasinya, baik pada skala mikro dan makro sosiologis. Tahap ini oleh Habermas disebut Psikoanalisis yakni mencari berbagai factor bawah sadar yang menekan, mendistorsi dan menindas alam bawah sadar yang menghambat manusia mengetahui kondisi yang sebenarnya. Diharapkan masyarakat akan menyadari distorsi ideologis yang berakibat pada pelanggengan situasi social yang tidak adil dan bertentangan dengan pemberdayaan demokrasi, (3) Menyusun agenda untuk mengubah situasi menuju masyarakat egaliter, dan (4) Melakukan evaluasi. Ideologi dengan demikian dipahami bukan hanya teoritis, tapi berdampak langsung pada praktek kehidupan, karena itu metodologi yang dipakai dalam teori kritis disebut juga riset aksi (action research), gabungan antara riset dan aksi dalam bentuk pemberdayaan dan emanspiatoris.

AGAMA. Ada banyak sekali penjelasan tentang agama dari para filsuf. Tetapi disini akan dijelaskan penjelasan Immanuel Kant, yang cukup influential. Di dalam bukunya Religion innerhalb der Grenzen der Bloszen Vernunft (Agama didalam batas-batas rasio murni) (1973), Kant menjelaskan bahwa moralitas akan mengarahkan kita pada agama. Mengapa demikian? Menurut Kant, perealisasian yang memadai dalam pengalaman bagi perintah sebagai kategori tidaklah mungkin. Manusia hanya dapat mencapainya dengan pertolongan Allah. Adanya harapan akan kebahagiaan, itulah awal dari agama. Jadi menurut Kant, agama harus dijabarkan dari ketentuan-ketentuan duniawi. Manusia yang telah menjadi sadar akan tujuan hidupnya, yang disebabkan karena perintah-perintah moral dalam dirinya, membangun suatu hidup diseberang sana (akhirat), yang keadaannya disesuaikan dengan nilai-nilai yang berlaku di dalam hidup diseberang sini (dunia). Kemudian hubungan antara hidup diseberang sini dan hidup di seberang san itu dijadikan suatu hubungan privat, antara manusia dengan Allah. Maka tampillah kewajiban-kewajiban manusia, yang semula keluar dari dirinya sendiri itu, sebagai perintah-perintah Allah. Demikianlah moralitas mengarahkan kita pada agama.

Dengan itu, Kant bermaksud membuat sintesis antara agama yang murni akali dengan agama seperti yang diajarkan Kristen. Kant tidak setuju jika agama Kristen dipandang sebagai soal mengamini saja apa-apa yang diajarkan Gereja. Ia juga tidak setuju jikalau dogma-dogma gereja dipandang sebagai hal-hal yang pasti mutlak. Kant mengungkapkan bahwa apa yang diungkapkan al-Kitab sebagai hal yang diwahyukan itu sebenarnya dapat diketahui juga melalui rasio murni. Filsafat agama menerima dari moralitas pengertian tentang “hal yang tertinggi” dan bagaimana cara mendekatinya. Cara tersebut, salah satunya, lahir dari dualisme noumena dan fenoumena yang dibangun Kant. Menurut Kant, jika kita melihat tembok, tembok dihadapan kita itu menurut Kant bukanlah tembok pada dirinya sendiri, bukan benda itu sendiri (das ding an sich), melainkan hanyalah penampakkan tembok itu sejauh kita tangkap dengan panca indera. Tembok yang sejati tidak pernah terlihat, karena dia berada dalam dunia noumena di seberang dunia fenoumena. Kita bisa melihat tembok, karena tembok an sich itu menimbulkan penginderaan pada diri manusia yang pada gilirannya penginderaan kita melihat tembok itu (tidak sebagaimana adanya, melainkan) menurut struktur a priori penginderaan (kita).

Para filsuf (agama) Kantian dan neo-Kantian, banyak menggunakan dualisme ini untuk menjelaskan konsep-konsep kunci dalam agama. John Hick, misalnya, menggunakan dualisme ini untuk menjelaskan the Real (realitas tertinggi). Hick menggunakan dualisme Kant tentang the Real in-it-self (das ding an sich) dan the Real as humanly thought-and-experienced. The Real in it self sesungguhnya adalah realitas tunggal yang dituju oleh kita (semua agama). Sementara, karena realitas tunggal itu bersifat maha baik maha besar, maha luas, maha agung, maha tak terbatas dan sebagainya, maka manusia (yang terbatas) mengalami keterbatasan untuk mengenalnya secara penuh. Itulah yang kemudian menurut Hick mewujud pada gambaran the Real as humanly thought-and-experienced (realitas tunggal yang dapat dipikirkan dan dialami secara manusiawi). Keterbatasan manusia dan cultural factors--lah yang kemudian menyebabkan respon orang tentang gambaran realitas tunggal itu menjadi berbeda-beda.

Selanjutnya, mungkin muncul pertanyaan bagaimana menghubungkan kedua the Real tersebut? Atau bagaimana the Real as humanly thought-and-experienced yang mungkin berbeda-beda antara satu agama dengan agama yang lainnya bisa diartikan menuju ke the Real in-it-self yang sama? Menurut Hick, semua agama dengan the Real yang berbeda-beda itu tetap menuju pada the Real in it self yang sama sejauh mampu melahirkan fungsi soteriologis dari agama. Artinya, agama yang sebenarnya berorientasi pada kehidupan diseberang sana tersebut mesti memberikan pengaruh yang baik secara moral dan ethics bagi para penganutnya dalam kehidupan sosial manusia.

KWA & ISLAM: Prinsip Pokok & Contoh

KWA diperlukan karena krisis pemikiran Islam yang melanda sekarang, -disamping berkaitan dengan etos kerja-, juga antara lain disebabkan oleh dominasi perspektif tradisional-konservatif yang meliputi hampir seluruh bidang dalam pemikiran Islam. Pandangan dunia Islam (world view) memang telah mulai terbentuk selama 4 abad pertama perkembangan Islam dan memperoleh bentuknya yang pasti pada abad ke- 12 Masehi. Juga, tradisi keilmuan Islam telah melahirkan sejumlah ilmu seperti ulum al-qur’an, ulum al-hadis, tafsir, fiqh, teologi dan sebagainya yang pada gilirannya membentuk struktur tradisi masyarakat Islam. Namun seteleh itu, keilmuan Islam itu sejak abad 12 tidak lagi mengalami perkembangan yang berarti. Sejumlah ilmu tersebut belakangan menjadi penyangga utama ortodoksi, dimana ilmu sudah dibatasi sedemikian rupa sehingga orang tidak boleh keluar dari rambu-rambu yang sudah disusun para ulama klasik. Pendeknya, proses ortodoksi telah menjadikan Islam sebagai wacana resmi dan tertutup.

Padahal tidak ada satu agamapun yang lahir dalam ruang kosong. Sebaliknya, ia selalu lahir dalam konteks yang menyejarah yang membuat eksistensinya memiliki makna. Hal ini membuktikan bahwa agama juga berdialog dengan zamannya, dan karena dialog inilah agama dapat menemukan signifikansinya di tengah masyarakat. Dengan berdialog itu, agama dipercaya dapat mengubah realitas diluar dirinya dan pada saat yang sama realitas luar itu juga berpengaruh pada agama. Selain itu, meskipun mengemukakan nilai-nilai kemanusiaan universal, agama juga dapat dengan mudah dijadikan alat yang efektif untuk tujuan-tujuan kekuasaan, baik pribadi ataupun golongan. Karena itu menjadikan agama sebagai wacana resmi dan tertutup, sejatinya, sangat berbahaya bagi agama itu sendiri dan keberagamaan kita.

Oleh karena itu, saya setuju dengan pendapat Kuntowijoyo (2007) agar umat Islam sekarang melakukan proses demistifikasi, yakni suatu gerakan intelektual untuk menghubungkan kembali teks-teks agama dengan konteksnya. Ini diperlukan karena umat Islam sekarang dalam memahami teks-teks agama cenderung berhenti hanya pada proses mistifikasi. Artinya, pemahaman teks-teks agama hanya pada teks tanpa mengkaitkan dengan konteksnya. Akibatnya, teks-teks agama kehilangan kontak dengan kenyataan, dengan realitas, dengan aktualisasi dan dengan dunia kehidupan. Dalam tradisi akademik, proses demistifikasi bisa diwujudkan dengan cara meletakkan Islam sebagai obyek studi ilmiah. Jadi Islam tidak didekati sebagai agama wahyu semata, sehingga segala sesuatu harus dikembalikan dan tunduk kepada teks-teks suci yang telah diwahyukan, melainkan juga harus diwacanakan secara kritis, toleran dan membebaskan.

Proses demistifikasi yang dimaksudkan Kuntowijoyo, salah satunya, bisa melalui KWA. Beberapa hal pokok yang harus dilakukan dalam KWA antara lain (1) Kritik sejarah, yakni analisis kritis terhadap teks-teks agama dengan menyertakan konteks sebagai factor penting dalam menafsirkan dan memahami teks. (2) Dekonstruksi, yakni analisis kritis terhadap agama sebagai dogma dan wacana. Agama yang selama ini dipahami sebagai dogma dalam praktiknya tidak lagi berdaya tangkap terhadap berbagai tuntutan perubahan masyarakat, bahkan terkadang menjadi sumber penindasan, baik secara eksplisit maupun implisit. (3) Kritik ideologis, yakni analisis kritis terhadap relasi antara pengetahuan (kebenaran) dan kekuasaan (relasi kuasa) dalam pembentukan wacana keagamaan yang dominant. Setiap wacana dan penafsiran terhadap agama yang muncul selalu memiliki relasi dengan kekuasan dan kepentingan dimana penafsir atau penjaga tafsir itu hidup. Karena itu kebenaran suatu tafsir agama dapat juga dilihat dalam kuasanya. Dengan demikian, harus ada desakraslisasi atas tafsir agama.

Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid mungkin bisa menjadi contoh menarik operasionalisasi KWA. Munculnya arus KWA diIndonesia memang dipengaruhi, salah satunya, oleh Nasr Hamid. Karyanya Naqd al-Khitob al-Din yang kemudian diterjemahkan LKIS Yogyakarta dengan judul Kritik Wacana Agama hamper selalu menjadi rujukan dalam setiap diskusi tentang KWA. Dalam buku ini, Nasr Hamid mengemukakan beberapa kritik tajam atas mekanisme pembentukan wacana agama yang sekarang menjadi arus utama dalam Islam. Kritik itu ditujukan pada:

a. Penyatuan antara pemikiran tentang agama dan agama itu sendiri (al-tawhid bayn al-fikr wa al-din). Implikasinya bukan saja mengabaikan jarak epistemologis antara subyek dan obyek, lebih dari itu secara implicit mengklaim mampu mengatasi segala kondisi dan hambatan eksistensial dan epistemologis. Klaim kebenaran mutlak antara lain dibentuk dari mekanisme wacana agama seperti ini. Tafsir atas agama berada setara dengan agama itu sendiri. Akibatnya, kritik atas tafsir agama sering dipandang sebagai kritik terhadap agama itu sendiri. Padahal, dengan menggunakan perspektif Kantian, agama sebagai noumena dan pemikiran atas agama sebagai fenomena, adalah dua hal yang sama sekali berbeda.

b. Menginterpretasikan seluruh fenomena, baik social maupun alam, dengan cara mengembalikan seluruhnya para prinsip sebab utama (radd al-dhawahir ila mubtada wahid). Mekanisme wacana ini mengandalkan emosi keberagamaan awam, sehingga sulit untuk didiskusikan karena apapun yang ada selalu dikembalikan kepada Yang Mutlak. Tindakan demikian sebenarnya telah menafikan manusia dan menegasikan hokum-hukum alam dan social, serta merampas pengetahuan apapun yang tidak didasarkan pada wacana resmi agama.

c. Mengandalkan otoritas salaf atau turats (tradisi) (al-I’timad ‘ala al-sulthati al-turats wa al-salaf). Hal ini dilakukan dengan menggeser teks-teks turats, yang semestinya merupakan teks sekunder, menjadi teks utama (primer) yang diikat dengan sakralitas dan otoritas kekuasaan. Implikasinya, wacana agama demikian menyamakan antara ijtihad dengan agama itu sendiri. Lebih dari itu, mekanisme wacana ini juga telah memegang bentuk-bentuk formal agama, dan pada saat yang sama mengabaikan prinsip-prinsip dasar agama (maqasid al-syari’ah).

d. Keyakinan mental dan kepastian intelektual secara final (al-yaqinu al-dzuhni wa al-hismi al-fikr). Implikasi keyakinan ini adalah menolak perbedaan pemikiran apapun kecuali dalam bidang-bidang apapun yang dianggap sebagai cabang (furu’), bukan masalah akar dan dasarnya (al-ashl). Al-ashal dipandang sebagai sesuatu yang tetap, tidak berubah dan tunggal. Perubahan dan diversifikasi atas al-ashl dipandang sebagai upaya untuk menggerogori keyakinan agama.

e. Mengabaikan dimensi dan konteks sejarah (ihdar al-bu’di al-tarikhi). Hal ini terlihat jelas pada romantisme masa lalu yang berlebihan, yang mereka pandang sebagai masa keemasan Islam (al-‘ashr al-dzahabi). Mekanisme ini selain mengabaikan konteks ruang dan waktu (geografis dan kesejarahan) yang berbeda-beda, juga berimplikasi pada pensakralan atas hal-hal yang profan dan temporal.

Hal-hal di atas kemudian dijadikan titik tolak Nasr Hamid dalam merumuskan pembicaraan lebih lanjut tentang KWA. Implikasinya adalah keharusan untuk menelusuri dan membongkar kembali seperangkat aturan atau sistim nilai yang ada dalam agama dan meletakannya pada aras sejarah pembentukannya dan keterbentukannya. Hal ini penting karena sistim nilai tersebut bersentuhan dan dikonstruksi oleh sistim nilai lain yang ada diluarnya. Dengan kata lain, mengembalikan sistim nilai yang selama ini diklaim sebagai agama atau apa-apa yang lahir sebagai hasil dari tafsir terhadap agama (pemikiran keagamaan) kepada dimensi historisnya (kesejarahan dan geografis) menjadi keniscayaan. Berkaitan dengan tafsir agama, setiap kelompok keagamaan membangun artikulasi wacana keagamaannya secara ideologis. Masing-masing saling berkompetisi untuk memperebutkan otoritas kebenaran agama. Antara satu dengan yang lain saling berkompetisi,mencoba untuk menghegemoni wacana ideologisnya melalui kekuasaan politik (control negara) dan sistim budaya yang diklaimnya sebagai sistim universal. Melalui proses ini (KWA), tafsir kebenaran agama itu diproduksi dan direproduksi secara terus-menerus, ditulis dan dibaca secara berulang-ulang, dikritik dan direvisi untuk perbaikan, serta diekspresikan dalam ruang social yang terus berubah, baik oleh individu maupun kolektif. Dan itulah cara merealisasikan Islam rahmatan lil-alamin yang juga shahih li kulli zaman wa makan.

FOOTNOTES:

Disampaikan pada acara Pelatihan Kader Lanjutan (PKL) yang diselenggarakan oleh PC PMII Jakarta Pusat. Tadinya direncanakan akan diadakan di PP al-Washilah Jakarta Barat. Tapi, tiba-tiba dipindah ke Pusdiklat Muslimat NU, Pamulang, 11-15 Juli 2008. (I don’t know why).
Orang biasa sekali (OBS). Alhamdzulillah, sekarang dipercaya menjadi Ketua Dept. Falsafah dan Agama, Universitas Paramadina, Jakarta. Juga dipercaya menjadi Dosen STAI-NU, Jakarta. Sekali lagi, Alhamdzulillah.
Lihat Frederick Copleston, 1960, A History of Philosophy, Vol. 6 (From Wolff to Kant), London: Burns and Oates Ltd.
Lihat Paul Ricoeur, 1982, Hermeneutics and the Human Science, Essays on Language, Action and Interpretation, John. B Thomson (Ed.), Cambridge: Cambridge University Press.
Lihat Michel Foucault, 1976, The Archeology of Knowledge and the Discourse on Language, New York: Harper Colopon Books.
Lihat Josef Bleicher, 1980, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique, London: Routledge and Kegan Paul.
Lihat Juergen Habermas, 1971, Knowledge and Human Interest, Boston: Beacon Press. Lihat juga F. Budi Hardiman, 1990, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Lihat Frederick Copleston, 1960, op.cit.
Lihat Suratno, 2003, Religious Pluralism in the Thought of John Hick, dalam Jurnal Sosiohumanika, Yogyakarta: Pasca Sarjana UGM.
Rumadi, 2000, Kritik Nalar: Arah Baru Studi Islam, dalam Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi No. 9 Tahun 2000, Jakarta: PP Lakpesdam NU, hal.
Rumadi, 2007, Post Tradisionalisme Islam: Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU, Jakarta: Dirjen Dikti DEPAG, hal.
Lihat Kuntowijoyo, 2007, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Nasr Hamid Abu Zaid, 1994, Naqd al-Khitab al-Dini, Kairo: Sina li al-Nasyr, hal. 77-79. Lihat juga Nasr Hamid Abu Zaid, 2003, Kritik Wacana Agama (terj. ), Yogyakarta: LKiS.

0 komentar:

 
© Copyright by HIPPMAP Online  |  Template by Blogspot tutorial