Selamat Datang Adik-adik Calon Mahassiswa Baru di Kota Daeng...Selamat Bergabung Bersama HIPPMAP-Makassar...

Rabu, 07 Januari 2009

Sekali lagi, multiinterpretasi adalah soalnya

ditulis oleh Rus'an Latuconsina

Tumpukan kata-kata indah sarat makna cinta dan pesona 'mistis' dalam bait-bait Matsnawi karya Jalaluddin Rumi itu telah memukau sejarah kesusasteraan dan spiritualitas manusia berabad-abad lamanya. Master piece yang lahir dari seorang pribadi luhur. Matsnawi telah dibaca banyak orang. Tak terhitung berapa banyaknya. Takkan puas membacanya. Bahkan


ada ahli yang mengatakan karya itu sebagai sebuah tafsir al Qur'an yang amat indah dalam versi yang tidak biasa. Kuplet puisnya luar biasa, bersayap dalam makna, mengajak kita bertamasya imaji dan spiritual. Berbeda pembeca berbeda pula kualitas 'tamasya' imaji dan spirtualnya.

Orang yang telah tebiasa dalam latihan ruhani dengan respek sastra yang bagus akan mengalami hasil yang berbeda dengan orang yang kurang atau sama sekali tidak terbiasa dalam latihan ruhani meski dengan atau tanpa respek sastra pula akan berbeda kualitas tamasyanya. Suatu karya yang dibaca oleh orang yang berbeda tingkat kesadaran spiritual dan apalagi intelektual, akan menghasilkan penafsiran yang berbeda-beda pula. Pebedaan inilah yang menjadi sifat alamiah karena berdasar pada apa yang disebutkan di atas, perbedaan kualitas diri manusia, baik kesadaran spiritual maupun intelektual.

Demikian halnya proses di atas akan berlaku juga atas pembacaan islam. Islam sebagai sebuah teks (writerly), mengutip Roland Barthes (seorang ahli semiotika), akan membuka kemungkinan seluas-luasnya bagi pemroduksian makna oleh pembacanya. Islam ketika turun sebagai dien dalam peradaban manusia, maka ia adalah titah yang membumi dari sebuah pergumulan dialektika kehendak Tuhan atas kongruensi dan dinamika kemanusiaan yang serba tak sempurna dengan ukuran Sang Kreator semesta. Islam yang bergumul dengan peradaban dan menafasi peradaban serta seluruh horizon kosmologi wujud, sampai kini telah bergumul dengan berlaps-lapis geologi peradaban dan dinamika sejarah kemanusiaan, berganti-ganti zaman telah dilalui. Rasulullah saw beserta generasi sahabat atau pembaca pertama Islam itu telah lama tiada. Dulu Islam sebagai ajaran, dogma dan praksis peradaban di jaman pembaca pertama bisa langsung merujuk kepada penafsir dan pembaca terbaiknya karena beliau adalah kekasih dan orang terdekat Sang Kreator Yang Esa dan Tinggi. Namun ketika beliau (Rasulullah saw) wafat, maka perubahan itu terjadi. Niscaya terjadi.

Sejarah teologi Islam telah berkisah banyak mengenai hal ini. Muncul banyak aliran mazhab dengan tokohnya. Dua imperium besar umat Islam berdiri. Membentang berabad-abad lamanya dari Spanyol di Eropa sampai India di Asia. Imperium Umayyah dan Abbasiyah. Imperium adalah kekuatan peradaban pada masa itu. Ia melahirkan genius-genisu besar dengan adi karya yang terkenal. Arsitektur, kimia, astronomi, matematika, filsafat, kedokteran dan lain-lain. Dunia kultural berkembang pesat yang memicu masa keemasannya ketika borjuasi kota mulai mapan seperti yang dilukis oleh Joel L. Kraemer dalam Renaisans Islam (Mizan, 2003).

Islam sebagai teks, yang dalam hal ini terwakilkan dalam Al Qur'an dan Sirah Kenabian Rasulullah saw, dalam pelancongan masa yang sudah jauh dari masa awal itu, mengalami multipembacaan atau multiinterpretasi yang hebat. Terbukti dari kemunculan beragam aliran teologi dengan imam-imam besarnya, baik aliran yang besar yang kesohor seperti Asy'ariyah, Hanbaliyah, Malikiyah, Hanafiyah, Ja'fariyah, maupun aliran-aliran teologi lainnya yang banyak jumlahnya tapi kurang kesohor seperti yang digambarkan oleh A.Qodri Azizy dalam Reformasi Bermazhab (Mizan-Teraju, 2004). Belum lagi dalam dalam disiplin ilmu filsafat dan tasawuf atau irfan. Banyak aliran telah muncul mengisi ruang-ruang kultural umat Islam semenjak Imperium imperium itu masih kokoh sampai masa kehancurannya dan bahkan masih kelihatan sampai masa kini di abad ketika yang ada hanyalah negara-negara bangsa dan masa ketika dunia dihantui sesosok hantu yang memomokkan negara-negara terbelakang secara ekonomi dan negara yang dituduh tiran. Hantu Demokrasi!

Dari ranah pikir di atas, ditambah dengan pertimbangan kosmologi pengetahuan, pohon ilmu dan kerangka epitemologi yang sudah harus lumrah dipahami, maka tulisan berikut hendak memberikan sedikit tanggapan atas tulisan kawan Alan Latuamury yang berjudul "Ikut-ikutan dalam Ibadah; Taklid Buta". Tidak banyak akan kuulas secara reaksioner menanggapi satu-persatu tulisannya. Tulisan ini ingin mengingatkan bahwa kita memiliki sudut pandang yang berbeda-beda atas Islam sebagai ajaran, dogma dan praksis peradaban. Islam itu satu jua adanya. Al Qur'an itu satu jua adanya dengan kesempurnaannya dan risalah kenabian Rasulullah saw (meminjam pendapat Ahmad Wahib dalam "Pergolakan Pemikiran Ahmad Wahib") atau sunnah beliau yang sahih (tentunya) adalah keduanya merupakan landasan pokok Islam. Namun yang esa itu telah menjadi plural dengan adanya 'para pembaca' teks yang beragam. Baik beragam dari segi ruang dan waktu, mapun beragam dalam konteks pemikiran. Yang ini haruslah kita maklumi dulu, kupikir sebelum mendudukkan persoalan yang dikuliti oleh kawan Alan Latuamury itu.

Dalam tulisan 'bantahan'nya itu serta artikel sebelumnya, menurutku kawan Alan telah mencoba mengelaborasi pemikiran keislaman yang dipahaminya dalam porsi defensif atau pertahanan ketika ada pemikiran yang mencoba menyinggung sesuatu dari bunga rampai kekislaman di Hatuhaha. Menurutku Alan telah menempatkan teropongnya secara kukuh di mata intelektualnya. Memang benar, orang harus konsisten, namun yang kulihat adalah sebentuk fanatisme intelektual karena tidak bisa mencoba mengambil jarak sejenak dengan semangat primordialnya. Cobalah letakkan teropong primordial intelektual kita sejenak, lalu coba pasangi kembali dengan teropong-teropong universum yang ada diantara beragam teropong lokalitas di antara lokus-lokus kultural umat Islam lainnya. Kebenaran Tuhan memang adalah mutlak adanya, namun kebenaran homo sapiens itu selalu dibatasi oleh pagar kaca yang bernama perspektif. Dari perspektif kitalah kita membaca teks apa saja. Baik dunia itu sebagi teks ataupun Islam sebagai teks. Kebenaran yang kita rangkai dan kita peluk ringkih-ringkih bukanlah sesuatu yang mutlak dengan sendirinya karena kebenaran dari periuk akal budi manusia dan kekayaan spiritual manusia hanyalah embun di pagi hari seperti titah Ali Syariati dalam bukunya 'Haji'. Embun itu hanyalah tetes-tetes. Embun yang tidak ikut tarian alam, tidak ikut menghuyungi sungai, maka ia akan menguap sirna oleh sang mentari pagi. Kebenaran-kebenaran dengan hurup 'k' kecil yang diproduksi akal budi dan pencerahan batin manusia ini pula akan tiada harganya sama sekali ketika ia tidak meluncur mengikuti kehendak Sang Pemilik Wujud ini. Dalam filsafat wujud kupikir hal ini menjadi bahan refleksi kita bersama.

Apa yang diulas oleh Alan Latuamuri hanyalah setitik embun di antara berjuta embun lainnya yang membentang di tunas-tunas dan hijau daun para perindu hikmah dan ilmu. Pendapatnya hanyalah secercah gambar dari moncong teropong ilmu yang dimilikinya. Sementara di dunia ini jumlah teropong itu sangatlah banyak. Sangat banyak pula gambar-gambar yang bisa terlihat, atau interpretasi objek akan banyak berebeda-beda seiring banyakanya jumlah pemakai teropong ilmu. Tak ada gunanya berkoar-koar pongah dan membusung dada mengikatkan bendera kebenaran hurup 'k' kecil di tiang hikmah, kalau toh masih banyak pula di dunia ini kibaran-kibaran bendera itu terlihat. Cobalah terawangi langit di atas sana, mungkin saja arak-arakan awan putih yang mengepul itu sedang menertawakan keluguan kita yang tengah merasa hebat menancapkan sebuah tiang bendera dengan warna bendera yang itu-itu saja.

Kebenaran yang terpacak lewat bendera ilmu yang berkibar ria dan semburat hikmahnya dari rajutan benang-benang indah senantiasa bergetar-getar di muka bumi oleh para perindu kebenaran. Monumen cinta yang tiang-tiangnya ditegakkan sebagi tanda keteguhan asa. Asa dari keteguhan prinsip jiwa merindukan iluminasi 'cahaya' Al Haq. Tiang diantara tiang-tiang. Mereka punya warna beraneka rupa bercengkerama dengan maqom-maqom kebenaran. Kebenaran bermacam-macam rupa tertulis dari warna dan kilatan simbol-simbol hikmahnya. Aneka dalam pusaran wihdah...

Konteks tasawif yang dibicarakan dan dipertahankan mati-matian oleh kawan Alan tak ubahnya ketika dalam sejarah, kaum zahiri dan kaum bathini mengambil posisi perang. Kaum yang pertama menuduh kaum yang kedua sebagai pelaku bid'ah, sedangkan kaum yang kedua menuduh kaum antagonisnya sebagai kaum-kaum konservatif nan kaku yang hanya merayap di permukaan atap sorga. Dengan megap-megap seolah-olah tasawuf menurutnya adalah hitam putih kesuperioran Hatuhaha versus umat Islam. Sekali lagi, cara berpikir yang masih berkutat pada teropong sendiri, bendera sendiri. Menurutku ini adalah cara berpikir Hatuhaha-Centris. Karena kebenaran dengan (sekali lagi) hurup 'k' kecil itu mengambil kesimpulannya dari teropong Hatuhaha an sich. Kebenaran yang terkurung oleh perspektif Hatuhaha. Memandangi dunia, membaca Islam dengan kaca mata Hatuhaha an sich akan menghasilkan terang jiwa sebatas perspektif itu. Memang remah-remah ilmu pengetahuan dengan mudahnya bisa didapat dari luar, akan tetapi konstruksi berpikir itulah alat menalarnya yang sudah menjadi seperti 'paradigma', meminjam istilah Thomas Kuhn. Cara bekerja paradigma bisa memberikan gambaran mengenai hal ini.

Memang kita tidak bisa menutup mata mengakui tasawuf di Hatuhaha ini. Tasawuf sebagai sebuah disiplin ilmu dan praksis spiritual yang memberi jiwa atas kehidupan, kupikir aku tidak pernah menyangkalnya. Itu sudah terang dan jamak diakui oleh umat Islam. Tasawuf boleh dibilang bunga rampai intelektualitas muslim yang sampai kini masih tetap setia menemani hati kaum muslimin. Aku pun tidak pernah menyangkali eksistensi tasawuf ini di Hatuhaha. Karena memang apa yang ada di Hatuhaha memang kusadari itu adalah salah satu model dari sekian model tasawuf teoritis dan tasawuf amali di dunia Muslim. Yang menjadi inti soal dan menurutku ini adalah inti penyanggahanku atas pendapat kawan Lan Latuamury adalah pada soal ketika mengokang statement kesuperioritasan tasawuf Hatuhaha tanpa komparasi jelas dan ilmiah, di atas banyak aliran tasawuf lainnya atau umat Islam lainnya yang tidak mengamalkan tasawuf sebagai salah satu trace of life. Bisa diperika tulisanku yang sebelum ini. Sengkarut pendapatku itu semata-mata ingin mengirimkan argumen bahwa dengan pemisalan di atas, teropong itu sangat banyak, bahwa apa yang kuminta tentang perbandingan antar teropong itu berarti meniscayakan perbandingan atau komparasi antara isi kepala pemakai teropong, sementara semuanya akan selalu berbeda, olehnya itu masing-masing pemegang teropong haruslah menyadari sebagai sama-sama pembaca teks semata dan bukan pemanggul titah kebenaran mutlak. Bahwa Hatuhaha itu akan paling benar dan tinggi (superior) oleh karena kata-kata itu keluar dari mulutnya sendiri. Orang Bugis pun bisa seperti itu, siapa saja akan demikian sebagai penganut tasawuf, karena sifatnya memang dari doktrin konsepnya ia telah menjadi pembaca teks Islam paling sempurna. Tasawuf itu suatu cara semata dalam membaca Islam sebagai teks. Suatu cara di antara bentang luas cara-cara lainnya.

Perkara apologia Lan Latuamury dengan tanggapan baliknya dengan disertai banyak dalil itu kupikir wajar-wajar saja, karena memang kalau sudah sampai di situ, berarti kita telah diajak masuk ke dalam salah satu dari banyak model aliran tasawuf. Karena yang kutahu, semua aliran tasawuf itu, masing-masingnya memiliki konsep pembenaran sendiri-sendiri. Tulisannya kebanyakan berisi pembenaran-pembenaran itu. Ibarat kamar, beliau menjelaskan detail di dalamnya, sementara dia duduk di dalam kamar itu sambil membaca dunia dengan sebatang teropong Hatuhaha yang mencium bola mata intelektualnya menjulur keluar jendela yang terbuka lebar. Kamar yang bernama dunia Hatuhaha. Sementara aku memahami bahwa di rumah ini masih banyak kamar lain yang terbuka pintunya. Dunia kamar-kamar yang tak selalu pantas untuk membanding-bandingkan isi perabotnya, apalagi meracau bahwa kamar sendirilah yang paling bagus.

Salam hangat..!

0 komentar:

 
© Copyright by HIPPMAP Online  |  Template by Blogspot tutorial