ditulis oleh Rus'an Latuconsina
Air di Indonesia sebagai salah satu sumberdaya alam yang keberadaannya sangat dekat dengan masyarakat sejak jaman dulu dengan pola pemanfaatan secara tradisonal komunal, kini telah berubah dengan disahkannya Undang-undang mengenai sumberdaya air (UU no.7 tahun 2004) oleh DPR. Air yang diakrabi oleh masyarakat tanpa bayaran ini kini telah beralih menjadi komoditas pasar yang baru. Hal ini karena beberapa pasal dalam undang-undang itu memberikan kelonggaran atas pengelolaan sumberdaya air kepada pihak swasta. Sementara logika swasta adalah logika pedagang yang maunya mengejar laba. Jadi, ketika sumberdaya air telah berada di tangan swasta maka masyarakat hanya akan berposisi sebagai pembeli air. Air yang sudah sejak lama diperoleh gratis dari alam, kini dipaksa oleh mekanisme negara 'bodoh' untuk merogok uang, uang dan uang, sementara di satu sisi tingkat kemiskinan masyarakat kita masih tinggi.
Privatisasi hanya akan menguntungkan pihak pemodal/ investor dan menyengsarakan masyarakat banyak. Kita tengok pengalaman privatisasi air minum di Filipina, terjadi kenaikan tarif sampai 500% dan 3.000 pegawai dipecat atau dibuat mundur cepat agar supaya bisa menekan ongkos produksi dan melejitkan keuntungan. Sementara di Cochabamba, sebuah kota di Bolivia (sebelum masa presiden Evo Morales), masyarakat yang mayoritas miskin itu harus mengurus surat ijin terlebih dahulu ketika mau menampung air hujan saja. Hal itu karena pelayanan air minum di kota tersebut sudah diprivatisasi. Sedangkan masyarakat miskin di Afrika Selatan yang kekurangan air itu pernah dipaksa membeli air melalui sebuah mesin (pre-paid water meters), sehingga mereka harus membeli kartu terlebih dahulu dan air dibeli sesuai dengan harga kartu. Nila Ardhianie, Direktur AMRTA Institute for water literacy dan Dewan Pengarah Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air, mengatakan bahwa di Jakarta sendiri, privatisasi PDAM Jaya, baik oleh RWE Thames maupun Ondeo Suez, membuahkan banyak masalah. Mulai dari transparansi kepemilikan saham, di mana sebetulnya pengelola air di Jakarta sudah sepenuhnya swasta karena 95 persen saham dimiliki swasta asing dan 5 persen swasta nasional sehingga nama Thames Pam Jaya maupun Pam Lyonaisse Jaya sama sekali tidak tepat karena PAM Jaya sebenarnya sama sekali tidak memiliki saham di dua perusahaan itu.
Pada tingkat makro kebijakan, privatisasi air ini adalah pesanan dari World Bank. Seperti dikutip dari WALHI, "ini merupakan prasyarat pinjaman World Bank sebesar 500 juta US$--menggantikan UU Pengairan. Ini bagian dari rencana restrukturisasi pengelolaan air WATSAL (Water Restructuring Adjustment Loan) yang didorong Worldbank. Restrukturisasi pengelolaan air intinya membuat peran negara seminimal mungkin. Argumentasinya untuk mengurangi peran negara, pengurangan subsidi serta menyerahkan peran pelayanan publik pada swasta. Ini merupakan agenda liberalisasi total yang ditekankan oleh kreditor internasional, IMF dan World Bank secara bersamaan."
Jadi kebijakan privatisasi air di negara kita yang dilakukan pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri itu sebenarnya adalah suatu bentuk pelanggaran atas konstitusi negara kita, yakni pasal 33 (3) UUD 1945 yang berbunyi "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat". Hal ini pula adalah suatu pelanggaran atas Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya pada tahun 2002 yang sudah diratifikasi oleh 145 negara dan telah mendeklarasikan masalah akses atas air sebagai salah satu hak dasar serta mendorong akses atas air secara setara dan tanpa diskriminasi.
Sumber di WALHI juga menyebutkan bahwa alasan privatisasi itu oleh World Bank disebutkan bahwa air yang diperoleh masyarakat saat ini masih berada di bawah “harga pasar” dan perlu dinaikkan. Baik World Bank dan ADB dalam “Kebijakan Air”-nya mendorong diterapkannya mekanisme harga yang mengadopsi apa yang disebut sebagai Full Cost Recovery. Secara singkat, Full Cost Recovery berarti konsumen membayar harga yang meliputi seluruh biaya. Dengan demikian privatisasi, sebagaimana yang telah terjadi di sejumlah negara, identik dengan kenaikan harga tarif air. Pada kenyataanya, justru kelompok masyarakat miskin yang akan semakin jauh dari akses terhadap air dengan meningkatnya tarif air.
Lalu bagaimana dengan air di kampung kita?
Di Pelauw secara khusus yang aliran sungainya merupakan bagian dari daerah aliran sungai (DAS) Pulau Haruku, selama ini secara sepintas bisa kita amati mulai mengalami penurunan kualitas dan kuantitas airnya. Indikasinya adalah semakin berkurangnya debit air sungai Marake'e dan Waelapiya sebagai salah dua sungai besar yang melintasi daerah petuanan/ kekuasaan negeri (adat)-nya. Ketika musim kemarau, badan sungai semakin ramping bahkan sampai kering. Sedangkan ketika musim hujan tiba, maka banjirlah daereah di sekitar badan sungai. Dugaan kuat menurunnya kualitas dan kuantitas debit air sungai Marake'e dan Waelapiya disebabkan perilaku masyarakat sendiri yang kurang bersahabat dengan lingkungan. Artinya masih kurangnya kesadaran ekologis. Stabilitas daerah tangkapan/ resapan air di hulu DAS/sub DAS yang berupa hutan, pengambilan batu-batu sungai, mencuci dengan detergen yang bisa mengganggu komponen biotis ekosistem sungai dan lain-lain ekses sosial ekonomi masyarakat perlu ditengok secara serius demi kelestarian alam sekitar sungai kita. Hutan yang stabil akan mengeluarkan air secara stabil pula. Begitulah hukum sylvics bergumam.
Adapun mengenai hubungan antara masyarakat kita dengan air, di sana mereka sudah terbiasa memanfaatkan air untuk berbagai keperluan sehari-hari tanpa membayar. Mereka sudah secara tradisional mengambil air dari sumur, sungai dan air hujan secara komunal. Maksudnya air, baik air permukaan, air bawah tanah mapun air hujan adalah barang non ekonomis yang boleh dimanfaatkan secara bersama-sama oleh siapa saja dan tidak lumrah untuk dijual. Kebiasaan ini pula bisa dijumpai di banyak tempat di pelosok dunia ini yang masyarakatnya masih hidup berbasis non-komersil/materialitas.
Sampai kini memang kita belum menemukan adanya geliat privatisasi akan dilakukan di kampung kita oleh pemerintah berdasarkan dalih undang-undang sumberdaya air itu. Memang belum ada sampai sementara ini pihak investor yang melirik sungai-sungai kita di sana untuk dikomersilkan. Akan tetapi, kita harus tetap mewaspai dan mencurigai kemungkinan hal itu akan terjadi. Air yang cukup berlimpah di kampung kita untuk dimanfaatkan oleh masyarakat, memang dalam batas tertentu terkadang membuat kita menjauh dari kesadaran eksistensial akan air. Ada banyak sumur, ada Waemasawae, Waegalegale, Waenamaseru, Waeramli, Waeiri, Waemarake'e, Waelapiya dan lain-lain di sana. Tapi, apabila suatu saat nanti ketika wae-wae itu dilirik oleh pihak pemodal untuk kemudian dikomersilkan, maka hal itu adalah suatu pertanda bahwa masyarakat kita hendak dikebiri hak-hak dasarnya atas air serta jalan masuk merambah persoalan lain yang terkait dengan konteks keadilan secara luas. Apapun model privatisasinya, minumnya tetap teh botol penindasan. Karena itu, pilihan yang manusiawi adalah menolak apabila hal itu hendak terjadi. Wallahu a'lam bishowab.
*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Kehutanan Unhas Makassar
dan aktivis HMI MPO Cabang Makassar
Air di Indonesia sebagai salah satu sumberdaya alam yang keberadaannya sangat dekat dengan masyarakat sejak jaman dulu dengan pola pemanfaatan secara tradisonal komunal, kini telah berubah dengan disahkannya Undang-undang mengenai sumberdaya air (UU no.7 tahun 2004) oleh DPR. Air yang diakrabi oleh masyarakat tanpa bayaran ini kini telah beralih menjadi komoditas pasar yang baru. Hal ini karena beberapa pasal dalam undang-undang itu memberikan kelonggaran atas pengelolaan sumberdaya air kepada pihak swasta. Sementara logika swasta adalah logika pedagang yang maunya mengejar laba. Jadi, ketika sumberdaya air telah berada di tangan swasta maka masyarakat hanya akan berposisi sebagai pembeli air. Air yang sudah sejak lama diperoleh gratis dari alam, kini dipaksa oleh mekanisme negara 'bodoh' untuk merogok uang, uang dan uang, sementara di satu sisi tingkat kemiskinan masyarakat kita masih tinggi.
Privatisasi hanya akan menguntungkan pihak pemodal/ investor dan menyengsarakan masyarakat banyak. Kita tengok pengalaman privatisasi air minum di Filipina, terjadi kenaikan tarif sampai 500% dan 3.000 pegawai dipecat atau dibuat mundur cepat agar supaya bisa menekan ongkos produksi dan melejitkan keuntungan. Sementara di Cochabamba, sebuah kota di Bolivia (sebelum masa presiden Evo Morales), masyarakat yang mayoritas miskin itu harus mengurus surat ijin terlebih dahulu ketika mau menampung air hujan saja. Hal itu karena pelayanan air minum di kota tersebut sudah diprivatisasi. Sedangkan masyarakat miskin di Afrika Selatan yang kekurangan air itu pernah dipaksa membeli air melalui sebuah mesin (pre-paid water meters), sehingga mereka harus membeli kartu terlebih dahulu dan air dibeli sesuai dengan harga kartu. Nila Ardhianie, Direktur AMRTA Institute for water literacy dan Dewan Pengarah Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air, mengatakan bahwa di Jakarta sendiri, privatisasi PDAM Jaya, baik oleh RWE Thames maupun Ondeo Suez, membuahkan banyak masalah. Mulai dari transparansi kepemilikan saham, di mana sebetulnya pengelola air di Jakarta sudah sepenuhnya swasta karena 95 persen saham dimiliki swasta asing dan 5 persen swasta nasional sehingga nama Thames Pam Jaya maupun Pam Lyonaisse Jaya sama sekali tidak tepat karena PAM Jaya sebenarnya sama sekali tidak memiliki saham di dua perusahaan itu.
Pada tingkat makro kebijakan, privatisasi air ini adalah pesanan dari World Bank. Seperti dikutip dari WALHI, "ini merupakan prasyarat pinjaman World Bank sebesar 500 juta US$--menggantikan UU Pengairan. Ini bagian dari rencana restrukturisasi pengelolaan air WATSAL (Water Restructuring Adjustment Loan) yang didorong Worldbank. Restrukturisasi pengelolaan air intinya membuat peran negara seminimal mungkin. Argumentasinya untuk mengurangi peran negara, pengurangan subsidi serta menyerahkan peran pelayanan publik pada swasta. Ini merupakan agenda liberalisasi total yang ditekankan oleh kreditor internasional, IMF dan World Bank secara bersamaan."
Jadi kebijakan privatisasi air di negara kita yang dilakukan pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri itu sebenarnya adalah suatu bentuk pelanggaran atas konstitusi negara kita, yakni pasal 33 (3) UUD 1945 yang berbunyi "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat". Hal ini pula adalah suatu pelanggaran atas Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya pada tahun 2002 yang sudah diratifikasi oleh 145 negara dan telah mendeklarasikan masalah akses atas air sebagai salah satu hak dasar serta mendorong akses atas air secara setara dan tanpa diskriminasi.
Sumber di WALHI juga menyebutkan bahwa alasan privatisasi itu oleh World Bank disebutkan bahwa air yang diperoleh masyarakat saat ini masih berada di bawah “harga pasar” dan perlu dinaikkan. Baik World Bank dan ADB dalam “Kebijakan Air”-nya mendorong diterapkannya mekanisme harga yang mengadopsi apa yang disebut sebagai Full Cost Recovery. Secara singkat, Full Cost Recovery berarti konsumen membayar harga yang meliputi seluruh biaya. Dengan demikian privatisasi, sebagaimana yang telah terjadi di sejumlah negara, identik dengan kenaikan harga tarif air. Pada kenyataanya, justru kelompok masyarakat miskin yang akan semakin jauh dari akses terhadap air dengan meningkatnya tarif air.
Lalu bagaimana dengan air di kampung kita?
Di Pelauw secara khusus yang aliran sungainya merupakan bagian dari daerah aliran sungai (DAS) Pulau Haruku, selama ini secara sepintas bisa kita amati mulai mengalami penurunan kualitas dan kuantitas airnya. Indikasinya adalah semakin berkurangnya debit air sungai Marake'e dan Waelapiya sebagai salah dua sungai besar yang melintasi daerah petuanan/ kekuasaan negeri (adat)-nya. Ketika musim kemarau, badan sungai semakin ramping bahkan sampai kering. Sedangkan ketika musim hujan tiba, maka banjirlah daereah di sekitar badan sungai. Dugaan kuat menurunnya kualitas dan kuantitas debit air sungai Marake'e dan Waelapiya disebabkan perilaku masyarakat sendiri yang kurang bersahabat dengan lingkungan. Artinya masih kurangnya kesadaran ekologis. Stabilitas daerah tangkapan/ resapan air di hulu DAS/sub DAS yang berupa hutan, pengambilan batu-batu sungai, mencuci dengan detergen yang bisa mengganggu komponen biotis ekosistem sungai dan lain-lain ekses sosial ekonomi masyarakat perlu ditengok secara serius demi kelestarian alam sekitar sungai kita. Hutan yang stabil akan mengeluarkan air secara stabil pula. Begitulah hukum sylvics bergumam.
Adapun mengenai hubungan antara masyarakat kita dengan air, di sana mereka sudah terbiasa memanfaatkan air untuk berbagai keperluan sehari-hari tanpa membayar. Mereka sudah secara tradisional mengambil air dari sumur, sungai dan air hujan secara komunal. Maksudnya air, baik air permukaan, air bawah tanah mapun air hujan adalah barang non ekonomis yang boleh dimanfaatkan secara bersama-sama oleh siapa saja dan tidak lumrah untuk dijual. Kebiasaan ini pula bisa dijumpai di banyak tempat di pelosok dunia ini yang masyarakatnya masih hidup berbasis non-komersil/materialitas.
Sampai kini memang kita belum menemukan adanya geliat privatisasi akan dilakukan di kampung kita oleh pemerintah berdasarkan dalih undang-undang sumberdaya air itu. Memang belum ada sampai sementara ini pihak investor yang melirik sungai-sungai kita di sana untuk dikomersilkan. Akan tetapi, kita harus tetap mewaspai dan mencurigai kemungkinan hal itu akan terjadi. Air yang cukup berlimpah di kampung kita untuk dimanfaatkan oleh masyarakat, memang dalam batas tertentu terkadang membuat kita menjauh dari kesadaran eksistensial akan air. Ada banyak sumur, ada Waemasawae, Waegalegale, Waenamaseru, Waeramli, Waeiri, Waemarake'e, Waelapiya dan lain-lain di sana. Tapi, apabila suatu saat nanti ketika wae-wae itu dilirik oleh pihak pemodal untuk kemudian dikomersilkan, maka hal itu adalah suatu pertanda bahwa masyarakat kita hendak dikebiri hak-hak dasarnya atas air serta jalan masuk merambah persoalan lain yang terkait dengan konteks keadilan secara luas. Apapun model privatisasinya, minumnya tetap teh botol penindasan. Karena itu, pilihan yang manusiawi adalah menolak apabila hal itu hendak terjadi. Wallahu a'lam bishowab.
*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Kehutanan Unhas Makassar
dan aktivis HMI MPO Cabang Makassar
0 komentar:
Posting Komentar