Selamat Datang Adik-adik Calon Mahassiswa Baru di Kota Daeng...Selamat Bergabung Bersama HIPPMAP-Makassar...

Kamis, 11 Juni 2009

Sri-Edi Swasono: Fakultas Ekonomi Terjajah Faham Ekonomi Liberalisme

Jakarta (ANTARA News) - Neoliberalisme dan ekonomi rakyat, dua hal yang belakangan sering disebut ketika para calon presiden dan wakil presiden menjadikannya sebagai topik kampanye.

Bukan hanya pertarungan para Capres, rakyat seolah disuguhi juga pertarungan antara neoliberalisme vs ekonomi rakyat!

Apa itu neoliberalisme? Apa itu ekonomi rakyat? Berikut wawancara Suryanto dari ANTARA News dengan Prof. Dr. Sri-Edi Swasono, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, mantan anggota MPR-RI dari Fraksi Utusan Golongan (FUG), dan mantan Ketua Umum Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) .


ANTARA : Menurut bapak apa sebenarnya neoliberalisme itu?

Sri-Edi : Neoliberalisme di Indonesia adalah kelanjutan dari liberalisme jaman penjajahan yang ditentang oleh Soekarno dan Hatta. Liberalisme adalah sukma kapitalisme dan neoliberalisme adalah sukma neokapitalisme (kapitalisme baru). Sebenarnya tak perlu repot-repot tentang definisi neoliberalisme, neoliberalisme adalah mekanisme penjajahan ekonomi baru.

ANTARA : Kalau begitu faham ekonomi apa sebenarnya yang dianut Indonesia?

Sri-Edi : Indonesia menolak liberalisme/neoliberalisme dengan doktrin Demokrasi Ekonomi, sebagaimana disebut dalam Pasal 33 UUD 1945. UUD 1945 menegaskan Doktrin Kebangsaan (nasionalisme) dan Doktrin Kerakyatan (kedaulatan rakyat) yang di dalam politik ekonomi tercermin dalam Pasal 33 UUD 45. Ekonomi Indonesia berdimensi nasionalisme. Kita tidak anti asing, investasi asing kita terima tapi tidak untuk mendominasi (tidak overheersen, menjajah, menyingkirkan, atau bersifat predatorik). Ekonomi Indonesia juga berdimensi kerakyatan, artinya rakyat diutamakan, posisi rakyat adalah “sentral-substansial”. Kesejahteraan bagi rakyat adalah hak sosial rakyat, bukan caritas-filantropis.

ANTARA : Lalu apa perbedaan mendasar antara neoliberalisme dengan ekonomi rakyat?

Sri-Edi : Neoliberalisme mengutamakan kepentingan pemodal (kapitalis). Posisi rakyat dan kepentingan nasional dalam faham neoliberalisme diletakkan pada posisi marginal-residual, sebaliknya kepentingan ekonomi, pertumbuhan, kepentingan pemodal justru diangkat pada posisi yang “sentral-substansial”.

ANTARA : Melihat kondisi Indonesia sekarang ini, apakah condong ke neoliberalisme atau ekonomi rakyat?

Sri-Edi : Telah terjadi penjajahan kurikulum (hegemoni akademis) terhadap Fakultas-fakultas Ekonomi kita di seluruh Indonesia. Pengajaran Ilmu Ekonomi sebatas neoklasikal yang mengemban sepenuhnya faham liberalisme/neoliberalisme dengan pasar-bebas yang menyertainya, tidak projob, tidak propoor, tidak pula pro-economic nationalism. Maka, “daulat pasar” (daulat pemodal) menggusur “daulat rakyat”, pasar-pasar rakyat/pasar-pasar tradisional digusur oleh supermarket, mall dan hypermarket, sehingga terjadi eksklusivisme dan marjinalisasi terhadap yang miskin dan lemah. Rakyat miskin tergusur, pembangunan rakyat tidak inherent dengan pembangunan ekonomi. Pengajaran Ilmu Ekonomi di ruang kelas bisa mengalahkan pesan konstitusi, Pasal 27 ayat 2, Pasal 3 dan seterusnya diabaikan.

ANTARA : Bukankah hampir semua ekonom, pengambil kebijakan, dan politikus Indonesia juga selalu mengatakan ingin menciptakan lapangan pekerjaan, bahkan mengentaskan kemiskinan?

Sri-Edi : Biarpun seorang ekonom bilang ia projob dan propoor, tidak otomatis ia bisa dikatakan pro-ekonomi rakyat, selama ia tidak menempatkan rakyat pada posisi sentral-substansial.

ANTARA : Apa bukti bahwa faham neoliberalisme juga berlaku di Indonesia?

Sri-Edi : Wujud neoliberalisme adalah pelaksanaan kebijakan Washington Consensus (deregulasi, liberalisasi, privatisasi). Sayangnya meskipun kita tidak terikat oleh Washington Consensus, kita melaksanakannya dengan giat. Bersikap projob dan propoor karena disuruh “kagum kepada” pesan-pesan ILO dan MDGs, dan bukan karena tunduk pada tuntutan konstitusi, Pasal 27 ayat 2 UUD 45, adalah neoliberalisme, inlander yang minder.

ANTARA : Kalau begitu bagaimana kita harus bersikap?

Sri-Edi : Dalam setiap kemajuan rakyat harus secara emansipatif terbawa serta (otomatically carried along) untuk ikut maju. Pembangunan bukan menggusur orang miskin tapi menggusur kemiskinan. Kita tidak boleh terjajah, kita harus menjadi Tuan di Negeri Sendiri, jangan jadi jongos globalisasi. (*)

COPYRIGHT © ANTARA

dikopi dari: http://www.kanalpemilu.com/view/?tl=sri-edi-swasono-fakultas-ekonomi-terjajah-faham-liberalisme&id=1244447057

0 komentar:

 
© Copyright by HIPPMAP Online  |  Template by Blogspot tutorial