Selamat Datang Adik-adik Calon Mahassiswa Baru di Kota Daeng...Selamat Bergabung Bersama HIPPMAP-Makassar...

Minggu, 08 Februari 2009

Falsifikasi Empirikal dan Objektifikasi Argumen

ditulis oleh Rus'an Latuconsina

Seperti memeriahkan tradisi bangsa Melayu, tulisan ini adalah semacam membalas 'pantun' tulisan kawan Lan Latuamury yang berjudul 'Salah satu Bukti Empirik Kesahihan dan Kesempurnaan Islam di Hatuhaha". Setelah membaca berulang-ulang tulisannya, aku tak menemukan di dalamnya bukti empirik yang objektif, selain sebuah 'pantun romantisme'

yang berpijak pada sejarah tutur belaka. Seandainya apa yang dia maksudkan itu hanyalah seperti itu, ya kupikir akan seperti itu maksudnya, tapi senyatanya yang diurai hanyalah argumen yang menurut standar ilmiah tidak masuk sama sekali, selain argumen reaksioner saja. Bukti empirik menurut ahli metodologi ilmiah, sebut saja Karl Popper, bahwa argumen itu bisa memuat bukti yang dipertanggungjawabkan menurut ukuran rasional universal dan koheren dengan fakta iderawi dengan terlebih dulu digurindam lewat kanal ketat metode ilmiah. Kalau yang demikian dimaksud untuk memverifikasi realitas yang dimaksud (dunia keislaman di hatuhaha), kupikir ada kekeliruan semantik dan terminologi yang terpakai.

Kekeliruan berikutnya adalah kawan alan seolah menempatkan dirinya (pikirannya) sebagai yang mewakili keseluruhan model keberislaman Hatuhaha. Hal ini tercermin dari penulisannya dengan memakai subjek 'kami' dalam mengemukakan argumen yang reaksioner itu. Ada dua entitas antagonis yang sedang berdialektika, sementara dia menempatkan dirinya dalam subjek 'kami' itu sebagai representer spoker dengan menempatkan subjek lainnya yang antagonis sebagai simple victim. Dia tidak bisa menempatkan dan berkesadaran memilah sebagai diri penafsir yang terus menjadi dan menjadi (Ercih Fromm) namun bukan sebagai megalomaniac spoker. Ketika kita berargumen, kita harus sadar diri bahwa argumen yang menggeram dari kita adalah milik kita yang sedang menjadi dan bukan secara otomatis menjadi argumentasi representatif, sama dengan yang disampaikan oleh kawan Lan dengan memakai 'kami' ketika berargumen. Aku yakin dan memang demikian pasti karena merujuk pada sifat pluralitas gagasan dan interpretasi, tidak semua orang atau tidak semua entitas historis dan kultural yang mau 'diwakilkan' oleh Lan melalui pemakaian subjek 'kami' itu akan manut-manut sependapat dengannya. Satu hal, kita harus menghargai pluralitas, di satu sisi kita harus memakai etika berargumen dengan tidak sevulgar itu berargumen mewakili sebuah entitas historis kultural.

Karl Popper pernah mengajukan sebuah alternatif metode dalam dialektika kebenaran metodologis keilmuan yang analogi sederhananya seperti ini. Daripada susah payah mengklaim bahwa semua angsa itu berwarna putih, lebih baik mencari dan menemukan saja seekor angsa diantara ribuan angsa putih itu seekor yang berwarna hitam. Jadi analogi itu bisa kita pakai untuk mementalkan model argumen kawan Lan. Daripada repot-repot mencari pembenaran, lebih baik perhatikan saja fakta yang ada. Apakah ada surga tasawuf yang terlihat di aras empirik seperti yang wah dan luar biasa dilukiskan oleh Lan sebagai masyarakat yang punya paham keislaman ruarr biasa (sempurna dan tinggi) itu? Secara teoritis emang iya, tasawuf itu ilmu sekaligus praktek islam (interpretatif) yang luhur. Tapi bagaimana dengan fakta empiriknya? Toh pada kenyataannya yang terjadi adalah kerusakan akhlak di mana-mana terjadi di masyarakat itu, masyarakat yang bukan hanya milik kawan Lan tapi masyarakatku juga, padahal setahuku yang masih kurang dalam ilmu agama ini, yang masih berada pada tingkatan taman kanak-kanak dalam beragama (seperti yang diklaim oleh Lan Latuamury dalam tulisannya sebelumnya)_tidak seperti kawan Lan yang mungkin sudah mumpuni dalam ajaran agama Islam, yah mungkin sudah selevel pengetahuannya dengan Imam Khomeini di Iran, padahal Imam Khomein atau imam-imam besar Islam dan memang sebagai akhlak sebagai manusia pembelajar yang memang tak etis menyombongkan dan mengklaster-klasterkan kepemilikan ilmu yang padahal diperciki oleh Allah swt amat sedikit sebagai nikmat itu, tidak pernah mengklaim dirinya memiliki ilmu seperti analogi kawan Lan, ilmu tingkat tinggi, doktor barangkali, dengan mengklaim orang lain yang belum dikenalnya, mengenal sebagai salah satu tahapan epistemologi mengambil kesimpulan ilmiah, mengklaim sebagai pemilik dan pengamal ilmu tingkat taman kanak-kanak (TK) _ Menurutku tidak menjadi masalah ketika diklaim rendah ilmu, akan tetapi pada tataran praksisnya tidak mengamalkan dehumanisasi pada wilayah sosial. Karena yang kutahu, verifikasi pluralitas ideologi, apapun ideologi, bahkan keyakinan dan paham-paham lainnya, salah satunya adalah bagaimana entitas axis of thought being itu tidak menimbulkan dehumanisasi atau krisis, kerusakan pada tataran praksis peradaban. Singkatnya, meski ilmu setinggi tegak, merobek langit, menjumpa malaikat, tapi kalau amalan peracaban membuat hancur kemanusiaan, ya percuma saja ilmu itu.

Kita mesti perhatikan hal ini. Secara teoritis, Islam itu sempurna. Tapi secara praksis, umat Islam itu sedang menjadi, menjadi dan berproses menjadi menuju limit sempurna. Ini sudah lumrah diketahui. Mungkin kesempurnaan keberislaman Hatuhaha yang dimaksud oleh kawan Lan, dalam konteks ini ya menurutku harus diletakkan di mana. Apakah pada wilayah teoritis, ataukah wilayah praksis. Kalau yang dimaksud itu adalah kesempurnaan pada wilayah teoritis, mungkin saja hal itu terjadi. Kita maklum dulu bahwa, berulang kali kubilang, bahwa tasawuf adalah salah satu model semata dalam penafsiran Islam. salah satu model diantara sekian banyak model. Maklum juga bahwa tasawuf itu sudah lumrah dalam dunia Muslim, toh sejarah panjang umat Islam juga adalah sejarah panjang tasawuf itu sendiri. Satu hal yang tak etis di sini adalah mengklaster-klasterkan yang ini tertinggi yang itu terendah. Sehingga argumen reaksioner kawan Lan yang seolah-olah menempatkan argumenku sebagai penebar fitnah adalah kenaifan dan salah alamat. Aku tidak menolak tasawuf selama tasawuf itu berpokok tauhid. Itu sudah terang dalam dunia Muslim. Dengan mengutip beberapa nama ulama dalam tulisannya, kupikir tidak ada relevansinya dengan ini. Toh cara penisbatan kepada nama-nama itu sebagai sandaran hujjah yang katanya empirik itu, kupikir dismatching.

Kalau kita mengukurnya pada wilayah sosial, maka akan runtuhlah seluruh argumen kawan Lan seperti lelehan gunung es yang terkena meteor. Argumennya selama ini berputar-putar saja pada wilayah itu. Siapapun akan sepakat kalau kesempurnaan konsep tasawuf itu dilihat pada wilayah teoritis. Tapi sabar dulu bung! Mendengar hal demikian bahwa ada klaim superiority oleh Lan ketika dikomparasikan dengan fakta empirik, waduh rasa-rasanya perut ini mau mual. Masyarakat yang semakin rusak itu dibilang sempurna? Akhlak yang semakin jauh dari akhlak ideal islami itu dibilang level makrifat? Ini adalah pada wilayah sosial, tataran praksis amal. Jadi sebenarnya Lan juga akan sepakat dengan hal ini. Bahwa masih ada gap antara das sein dengan das sollen. Ada kesenjangan antara harapan yang ideal islami dengan kenyataan yang jahili rusak. Bagian terakhir ini ingin kututup dengan mengulang kembali bahwa secara teoritis, tasawuf itu ilmu dan praksis amali yang luhur selama berpokok pada tauhid. Tapi pertanyaannya kemudian adalah apakah yang teoris, yang indah, yang agung, yang islami dalam konsep, dalam tulisan, dalam buku itu sudah bisa diamalkan atau belum. Apakah sempurna di konsep dan sempurna di amal perbuatan sekaligus ataukah hanya sempurna di konsep tetapi berperilaku jahiliah di tataran praktek sosial. Aku pun belum siap berdebat secara langsung dengan kawan Lan karena kupikir ilmuku masih berada pada level TK, sedangkan Lan sudah berada pada level doktor. yaah tidak etis lah kalau seorang doktor menantang bocah TK untuk berdebat. Aku hanyalah seorang yang sedang menjadi, menjadi dan berusaha untuk terus menjadi dan tak mau mengklaim sebagai seseorang yang sudah pintar.

Hasta la victoria siempre...!
(Ernesto Guevara)

0 komentar:

 
© Copyright by HIPPMAP Online  |  Template by Blogspot tutorial