Selamat Datang Adik-adik Calon Mahassiswa Baru di Kota Daeng...Selamat Bergabung Bersama HIPPMAP-Makassar...

Jumat, 15 Agustus 2008

Dialektikos Ma'rifatos


ditulis oleh Rus'an Latuconsina*

Ma'rifat itu artinya mengenal. Pertanyaannya adalah mengenal seperti apa, siapa yang dikenal, siapa yang mengenal dan bagaimana cara mengenal yang baik. Ma'rifatullah berarti mengenal Allah swt. Rudolf Otto (1917) seorang filsuf Jerman menyebutnya mysterium tremendum. Sedangkan Stephen Palmquist dalam bukunya 'The Tree of Philosophi' menyebutnya keheningan ontologis. Imam Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah dalam kitab Nahjul Balaghah menyebutkan hal pokok mengenai ma'rifat "Adapun pokok pangkal agama adalah ma'rifat tentang Allah. Namun takkan sempurna ma'rifat tentang-Nya kecuali dengan tashdiq (pembenaran) terhadap-Nya. Takkan sempurna tashdiq terhadap-Nya kecuali dengan tauhid dan keikhlasan kepada-Nya. Takkan sempurna keikhlasan kepada-Nya kecuali dengan penafian segala sifat dari-Nya. Karena setiap 'sifat' adalah berlainan dengan 'yang disifatkan', dan setiap 'yang disifatkan' bukanlah persamaan dari 'sifat yang menyertainya". Dalam epistemologi Islam, pemerolehan cinta dan iluminasi nur ilahi atau pencerahan hamba berlangsung melalui metode kehadiran (hudhury), berbeda dengan paradigma sains Barat yang positivistik an sich. Untuk mencapainya biasanya dilakukan pensucian jiwa (tazkiyatun nafs) melalui ibadah kepada Allah swt, sang pemilik ilmu sejati. Semuanya dilakukan dalam paradigma tauhid yang superior. Dalam dunia keilmuan islam, pencerapan nur ilahi melalui olah spiritual ini biasanya dilakukan melalui disiplin diri dan latihan-latihan mempersiapkan jiwa, seperti kata Fariduddin Attar dalam Mantiq at Tair, persiapan untuk menuju kepada keabadian melalui perlintasan maqom spiritual laksana pada kisah majelis burung yang merindukan semburat senyum Cinta dari al Haq.

Membincangi topik ini berarti kita akan tertarik ke dalam eksotisme metode pengetahuan yang berkembang dalam dunia Islam semenjak jaman dulu. Dalam buku "Kuliah-kuliah Tasawuf" disebutkan bahwa disiplin pengetahuan ini terkenal dengan dua nama, yakni tasawuf (sunni) dan irfan (syi'ah). Irfan sendiri terbagi atas dua, yakni irfan teoritis dan irfan praktik atau amali. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan genealogi teologis yang berbeda antara Sunni dan Syi'ah sebagai dua mazhab mainstream di dunia Islam. Sayyid Murtadha Muthahhari, seorang filosof muslim generasi Revolusi Islam Iran menulis dalam buku "Mengenal Tasawuf", menyatakan bahwa irfan merupakan satu bentuk metodologi gerak maju ruhani, sayr wa suluk (perjalanan dan bepergian), suatu metodologi yang dinamis yang harus dilewati oleh musafir (urafa) agar sampai pada tujuan akhir. Irfan berbicara tentang sebuah titik keberangkatan, tempat tujuan dan tahapan-tahapan serta stasiun-stasiun dalam aturan yang benar. Kemudian dalam uraiannya disebutkan bahwa ada perbedaan antara istilah abid, zahid dan arif. Seorang abid belum tentu adalah seorang arif. Seorang zahid adalah seorang abid yang belum tentu seorang arif. Namun seorang arif adalah seorang yang abid sekaligus zahid.

Abid dalam defenisnya disebutkan bahwa ia adalah orang yang menyembah Allah swt karena mengharapkan karunia dan imbalan-Nya, yakni surga dan tercegah dari api neraka. Sementara zahid adalah orang yang berjuang sungguh-sungguh mengingkari kenikmatan dunia dan menanggalkannya demi mengharap pahal kenikmatan surga. Jadi motifnya adalah menyangkali semua eksistensi di dunia ini kecuali wajh Allah swt demi mengharapkan karunia yang besar di akhirat kelak. Yang ketiga adalah arif. Arif adalah abid sekaligus zahid yang motifnya semata demi memenuhi kecintaan yang layak bagi Allah swt. Ia menyembah Allah swt hanya karena memang sepantasnya itu dilakukan bagi Sang Pemilik wujud dan cahaya cinta, Allah swt. Tidak ada yang layak untuk disembahi. Semua tatanan wujud, baik wujud materi sampai kepada wujud gaib mengabdi kepada-Nya, akan kembali kepada wajah-Nya yang kudus.

Ekspresi cinta seperti ini pernah diungkapkan oleh Rabiatul Adawiyah, sufi perempuan yang sangat terkenal. Dia mengatakan bahwa penyembahannya kepada Allah swt bukanlah dilandasi motif merindukan surga dan takut neraka, namun itu sebagai ekspresi cinta yang sejati. Allah swt memang pantas dicintai karena Dialah Tuhan Yang memiliki segalanya, termasuk ruh dan jasad kita.

Dalam sejarah Islam, menurut Muthahhari, tasawuf baru dikenal sebagai sebuah disiplin pengetahuan yang sistematis pada abad kedua hijriah. Jadi tasawuf sendiri belum ada pada masa Rasulullah saw hidup. Hanya saja hal itu sudah ada sebagai praktik ibadah meski tak pakai nama yang eksklusif. Kita bisa mengenal ahli-ahli sufi besar seperti Hasan Basri (wafat 110 H/728 M) yang menyusun kitab Ri'ayah li Huquq Allah, Malik bin Dinar (wafat 130 H/ 747 M), Ibrahim bin Adham (wafat 161 H/ 777 M), Rabi'ah Adawiyah (wafat 135 H/ 752 M atau 185 H/ 801 M), Abu Hasyim as Sufi dari Kufah (waktu wafatnya tidak diketahui). Beliau adalah guru Sufyan Sauri. Syaqiq Balkhi (wafat 194 H/810 M). Ma'ruf Karkhi; Fudail bin Iyad; Abu Yazid Bistami (Bayazid) yang merupakan tokoh mistik pertama yang berbicara terbuka tentang 'pelenyapan diri di hadapan Allah' (fana fi Allah) dan 'hidup abadi bersama Allah' (baqa' bi Allah). Seperti tulis Muthahhari dalam bukunya di atas, "Karena ungkapan-ungkapannya ketika dalam ekstasi (syatahat) membuat orang lain menuduhnya sebagai ahli bid'ah. Namun di kalangan urafa sendiri dia dianggap sebagai seorang di antara mereka yang mengalami kemabukan mistis (sukr), yakni dia mengungkapkan kata-kata itu ketika dia sedang hilang kesadarannya di dalam ekstasi (keadaan meluapnya kegairahan spiritual)". Beliau wafat pada tahun 261 H/874 M atau 264 H/ 877M; Bisyir bin Haris Hafi (wafat 226 H/840M) atau 227 H/841 M); Sari Saqati (wafat pada 253 H/ 867 M); Haris Muhasibi (wafat 243 H/ 857 M); Junaid Baghdadi (wafat 298 H/ 910 M); Zun-Nun Misry (wafat 246 H/860 M); Sahal bin Abdullah Tustari (wafat 282 H/895 M); Husain bin Mansur Hallaj (wafat 309 H/913 M); Abubakar Syibli (wafat 334 H/ 846 M); Abu Ali Rudbari (wafat 322 H/ 934 M); Abu Naser45 Sarraj Tusi (wafat 378 H/988 M); Abu Fadel bin Hasan Sarakhsi (wafat 400 H/ 1009 M), Abu Abdullah Rudbari (wafat 369 H/979 M); Abu Thalib Makki (wafat 385 H/ 995 M, kitabnya yang menjadi referensi terpenting tentang irfan yakni Qut al Qulub; Syekh Abu Hasan Khurqani (wafat 425 H/ 1033-34 M); Abu Sa'id bin Abi Khair (wafat 440 H/ 1048 M); Abu Ali Daqqaq Nisyaburi (wafat 405 H/ 1014 M atau 412 H/ 1021 M); Abu Hasan Ali bin Usman Hujwiri, pengarang kitab Kasyf al Mahjub (wafat 470 H/ 1077 M); Khwajah Abdullah Ansari, penulis kitab Manzil Sa'irin (wafat 481 H/ 1088 M); Imam Abu Hamid Muhammad Ghazzali (Imam al Ghazali), penulis kitab Ihya Ulumuddin (wafat 505 H/ 1111M); Abdul Kadir Jailani (wafat 560 H / 1164 M atau 561 H/ 1165 M); Muhyiddin Ibn Arabi, terkenal dengan sebutan Wali al Kamil (orang suci yang sempurna) dan Qutub al Aqtab (kutub dari segala kutub), walau sebagian pula orang menganggapnya berlebihan sebagai ahli bid'ah dan menyebutnya Mumituddin (pembunuh agama) atau Mahi'uddin (pembunuh agama). Kitab-kitab irfannya yang terkenal yaitu Futuhat Makkiyah dan Fusus al Hikam. Beliau wafat pada tahun 638 H/ 1240 M di Damaskus, dan sufi-sufi yang lain. Dunia tasawuf atau irfan berkembang pesat di dunia Islam. Muthahhari mengungkapkan bahwa masa dari awal berkembangnya (abad kedua hijriah) sampai dengan abad kesepuluh hijriyah adalah masa-masa yang produktif ketika muncul sufi-sufi besar dengan karya yang cemerlang. Namun setelah itu dunia intelektual islam, khususnya tasawuf dan irfan mulai meredup.

Kitabu di Hatuhaha

Perjalanan sejarah tasawuf dan irfan yang telah cukup panjang ini setidaknya meninggalkan warisan tak ternilai yang sangat berharga. Sangat banyak karya tasawuf dan irfan yang diwariskan. Tinggal bagaimana umat islam mau bergairah menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Kita bisa membayangkan ada ribuan bahkan jutaan kitabu yang menjadi peninggalan mengenai pengetahuan keislaman, terutama tasawuf dan irfan ini. Tentu saja kitabu-kitabu ini menggunakan bahasa Arab, Persia atau bahasa rumpun Timur Tengah lainnya. Bagi yang mau membacanya tentu saja harus mengerti dulu bahasanya. Tapi kita boleh bersyukur karena saat ini, dengan perkembangan ilmu penerjemahan, sudah banyak kitabu yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Tidak percaya? datang saja ke toko buku di kota anda.

Sudah pasti bahwa kitabu-kitabu yang menjadi andalan argumen ber-Islam di Hatuhaha, utamanya kitabu yang membahas masalah ma'rifat (tasawuf dan irfan) menggunakan bahasa Arab atau bahasa rumpun Timur Tengah lainnya, kalau itu adalah kitab asli. Yang menjadi hal menarik untuk didiskusikan adalah haruskah ilmu-ilmu tersebut (ma'rifat) tetap tertutup untuk dipelajari oleh kaum muslimin di sana? Bukankah hakikat kitabu adalah untuk dibaca dan dipelajari oleh siapa saja, karena sang penulisnya sendiri pun tak berkeberatan untuk dibaca oleh orang-orang yang tidak dikenalnya? Bukankah ilmu ma'rifat adalah ilmu yang terbuka untuk dipelajari oleh siapa saja karena ia adalah ilmu milik peradaban Islam berabad-abad lamanya dan bukan milik eksklusif di Hatuhaha? Ada pendapat apriorik yang menurutku keliru, bahwa ada anggapan, islam di Hatuhahah adalah Islam ma'rifat yang tiada duanya di dunia. Hanya satu-satunya di sana. Semua Islam lainnya adalah islam syari'at, islam kulit, islam yang hanya identik dengan shalat lima waktu. Lalu kesimpulannya, hanya islam ala Hatuhaha sajalah yang akan selamat. Betulkah pendapat ini? Silakan renungkan sendiri.

Ada kekeliruan berpikir

Fallacy of thinking atau kekeliruan berpikir adalah candu yang menjadi racun bagi nalar masyarakat. Tak mungkin terjadi perubahan sosial, melirik apa yang ditulis oleh Kang Jalal dalam bukunya Rekayasa Sosial, kalau masyarakat masih mengidap kesesatan berpikir. Menyimpulkan seperti di atas adalah suatu bentuk kesalahan berpikir. Coba kita telaah kembali. Ketika ada pola pikir yang mendikotomikan atau menghitamputihkan dan mensimplifikasi suatu masalah, apalagi masalah itu sangat prinsipil sifatnya, berkaitan dengan soal-soal akidah, soal-soal dasar dan pondasi keyakinan, maka itu sangat berbahaya ketimbang bom atom.

Ada dikotomi antara Islam ala Syariat dengan Islam ala Ma'rifat. Tipikal yang pertama disederhanakan lagi sebagai islam kulit dan shalat fardhu an sich. Lalu tipikal kedua disederhanakan lagi menjadi islam substansi atau isi dan tak perlu repot-repot shalat fardhu. Cukup saja mengerjakan amalan sunnah ataupun non sunnah (ritual kultur lokal yang tak berdasar pada al Qur'an dan sunnah Nabi saw). Kandungan Al Qur'an pun berada pada prioritas kedua setelah prioritas pertama, kitabu. Padahal kalau mau rasional, Al Qur'an selalu dibaca di sana. Teks Arabnya saja yang dibaca. Sampai di situ saja, tak lagi abaikan arti, makna dan kandungan surah-surah suci itu. Sehingga tidak heran jika yang terjadi adalah sesuatu yang lucu, masalahnya ada surah yang dibaca memerintahkan si pembaca untuk menunaikan shalat, meneladani Rasulullah saw dalam syariatnya secara kaffah (total), tidak boleh minum khamar, tak boleh dekati zina dan maksiat seperti pesta joget dan pacaran nyerempet seks bebas, ayat yang melarang zina, perintah amar ma'ruf nahi munkar dan lain-lain, namun pada saat yang sama si pembaca tidak memahami makna surah al Qur'an yang dibacanya sendiri lantaran tak paham artinya. Ia membaca Al Qur'an namun tak mengamalkan isinya, ia hanya taat mengamalkan isi kitabu. Padahal yang namanya kitabu kan adalah hasil ikhtiar intelektual manusia. Bagaimanapun kalau kitab itu adalah kitab mengenai Islam pastilah merujuk kepada Al Qur'an dan Sunnah Nabi saw, sehingga tidak terjadi contradictio at literer. Kitabu pun seperti di atas, sangat banyak jumlahnya. Kitab pada satu masa akan di-syarh (dikomentari, dikritisi) oleh intelektual masa berikutnya. Karena itu kebenarannya adalah tidak mutlak, kecuali Al qur'an dan Sunnah Nabi saw yang sahih. So, masih haruskah kita tertutup dengan hal-hal semacam itu lagi ketika pada saat ini dunia Islam sudah mulai bangkit dan berekspansi di tengah pertarungan ideologi dunia ini? Apakah kita hanya mau berada di bawah tempurung seperti katak yang arogan dengan kepicikan wawasannya itu?

Terakhir, ma'rifat sebagai sebuah metode spiritual yang telah lama berkembang di dunia Islam harus ditelaah baik-baik dan hati-hati. Sebab banyak sekali aliran tasawuf yang juga nyeleneh dari prinsip dasar syariat Islam. Yang namanya metode berarti itu adalah ikhtiari dan tidak mutlak. Dalam dunia Islam banyak sekali aliran tasawuf sebanyak aliran tarekat, walau beberapa punggawa sufi terkemuka ada yang tidak terikat secara ketat dan formal dengan satu aliran ordo sufi tertentu. Wallahu a'lam bisshowab.

*Penulis adalah aktivis HMI MPO Cabang Makassar,
saat ini anggota Dewan Pembina dan Penasihat HIPPMAP 2008-2009

1 komentar:

andi irsam mengatakan...

salam,
Tuan Rus...

maksut sodara menyebutkan tokoh2 para ulama islam lengkap dengan judul2 buku karangan dan taon wafatnya hanya untuk mempertanyakan, mengkritik ajaran dan pelaksanaan ma'rifat di Hatuhaha. Ajakan sodara sangatlah muliah, dengan demikian memotifasi intelektual muda Hatuhaha dan maluku untuk mengenal secara dalam dan utuh ajaran yang dianut selama ini janganlah hanya menjadi penganut ajaran warisan orang tua tetapi harus tau ilmunya, asal usulnya, pengamalannya, dasar hukumnya sehingga bukan hanya bermanfaat tetapi bisa dipertanggung jawabkan secara horizontal ataupun vertikal.
Maksut untuk mempertotonkan pengetahuan yg dimiliki sodara dengan menyalin taon kematian para penulis sejarah islam lengkap dengan judul buku karangannya tanpa memaknai secara utuh lalu sodara mengkultuskan suatu ajaran dan kaumnya.
Sangatlah indah dan islami jika smuanya disajikan secara terbuka, apa yg sodara ketahui tentang hakekat ajaran islam di Hatuhaha dengan ajaran islam pada umumnya kemudian dicompare disitu akan jelas apa yg menjadi kekuarang dan kelebihan masing2 sehingga para pembaca akan dengan mudah mengerti apa yg selama ini menjadi pembicaraan bukan hanya di internal Hatuhaha,
Sodara pasti mengaku bahwa sodara anak Hatuhaha, dengan begitu sodara harus sadar dengan segala konsekwensinya, jangan hanya nama besar Hatuhaha menjadi simbol kebanggaan sodara
cobalah untuk mendalami ma’rifat Hatuhaha yg secara turun temurun menjadi keyakinan orang2 Hatuhaha termasuk keturunan sebelum sodara sebelum sodara menyimpulkan keabsahanya sehingga tidak menjadi bias kepada diskusi2 liar yg tidak berdasar. dalam tulisan sodara diatas menyebutkan ajaran di Hatuhaha tertutup dan ekslusif itu adalah keliru bahwa ilmu itu tidah ada yg ditutup2pi hanya saja metode, pendekatan dan kemampuan berfikir menerima dan menterjemahkan kata2 sodaralah yg masih minim. karena apa yg sodara kemukakan dalam tulisan diatas tentang ma’rifat Hatuhaha sesungguhnya tak BERDASAR dan tidah jelas malah membingungkan disitulah jelas bahwa sodara sendiripun tidak Faham tentang ajaran ma’rifat Hatuhaha dan Islam pada umumnya atau lebih tepatnya sodara sedang dalam pencarian ilmu, lalu mengapa sodara tidak memulai pencarian ilmu dari yg terdekat yang mudah dilihat dan didengar dulu baru keluar sehingga tau siapa sesungguhnya sodara ini sebelum berbicara panjang lebar di luar, karna tidak mustahil sodara sangat mengharapkan “pencerahan” dari komentator2 yg baik hati yg mau mengomentari tulisan sodara dan memberikan pemahaman kepada sodara tentang hakekat suatu ajaran secara sempurna tetapi pendekatan sodara untuk mendapatkan ilmu sangatlah tidak dibenarkan padahal di dalam darah sodara mengalir ilmu yg sodara cari selama ini lalu Kenapa sodara menjadi buta ?? ( maaf* )

 
© Copyright by HIPPMAP Online  |  Template by Blogspot tutorial